Peristiwa yang dialami peserta program petani milenial tersebut perlu menjadi perhatian keras bagi para pemangku kebijakan. Hal semacam ini sudah sangat sering terjadi, apalagi untuk program-program yang bersumber dari dana APBN atau APBD yang tujuannya untuk lingkup yang lebih besar seperti swasembada atau ketahanan pangan, sering kali kita dengar hanya berujung pada kegagalan. Minimnya kajian, perencanaan serta kepentingan berbagai pihak, tentu tidak hanya menyebabkan kerugian yang besar bagi negara, tapi juga menghancurkan semangat para petani yang menjadi korban dibalik branding sebuah program.
Lalu, masih tepatkah melahirkan petani milenial dari sebuah program? Bagi saya, petani adalah profesi yang lahir dari hati didukung dengan semangat, kreativitas dan keuletan. Tidak akan berlangsung lama petani yang sengaja dicetak untuk mencapai target secara instan, karena proses bertani adalah tentang kesabaran.Â
Tugas negara ialah harus hadir untuk mendukung potensi petani muda, dengan cara memberikan dukungan, bimbingan serta kemudahan akses fasilitas, agar potensi dan bakat yang dimiliki dapat berkembang dan akhirnya mencapai produksi yang ditargetkan. Jika program dibuat hanya untuk branding atau memenuhi pelaporan akhir kegiatan, hendaknya dilakukan perencanaan yang matang diawal dan evaluasi yang adil diujungnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H