Baru-baru ini ramai di media sosial twitter, pemilik akun (@eesss_) yang merupakan salah satu peserta program Petani Milenial gelombang pertama yang digagas pemerintah Provinsi Jawa Barat, membagikan pengalamannya selama menjadi peserta program.Â
Program Petani Milenial sendiri merupakan salah satu program unggulan Pemprov Jabar yang dilaksanakan pertama kali pada 26 Maret 2021. Saat ini tercatat sudah memasuki gelombang 10, dengan total petani milenial aktif sebanyak 7388 orang. Layaknya program unggulan yang sering digembor-gemborkan, sudah tentu antusiasme peserta sangat tinggi.Â
Pada gelombang 1 saja, pendaftar mencapai 8998 orang dan hanya 573 orang yang dinyatakan lolos untuk dapat menjalani magang dan pelatihan. Sudah dapat dibayangkan bukan, betapa ketat tahapan seleksi serta keribetan mengurus segala administrasi yang berhubungan dengan program pemerintah? Sayangnya, hasil akhir program tidak sesuai dengan ekspektasi dan apa yang sudah diusahakan sejak awal.
Program ini melibatkan beberapa pihak, yaitu Pemerintah Provinsi yang dihandle oleh Dinas terkait, pihak bank sebagai pemberi pinjaman melalui KUR (Kredit Usaha Rakyat), Avalist (penjamin) yang disini adalah BUMD, peserta pelatihan dan offtaker.Â
Nah menariknya, pada saat awal penyelenggaraan, program ini ternyata tidak dibiayai APBD, sehingga dana pelaksaan seluruhnya berasal dari KUR. Karena kegiatan ini dibawah program dan adanya peran pihak penjamin, maka KUR lebih mudah diakses dan diberikan tanpa agunan/jaminan. Lalu, kepada siapa pinjaman ini dibebankan? Pinjaman ini dibebankan pada setiap individu peserta program, yang dapat dibayar dari keuntungan hasil panen.Â
Tentu berat jika baru awal program saja sudah harus "menanggung hutang". Tapi jika diambil sisi positifnya, besarnya resiko yang dibebankan program sejak awal, tentu akan memacu semangat dan kerja keras peserta, sehingga hasil yang diperoleh dapat maksimal. Begitulah seharusnya, jika semua pihak menjalankan kewajibannya dengan benar.
Sayangnya, tidak begitu bagi (@eesss_) peserta program Petani Milenial Tanaman Hias dan 19 teman-temannya pada gelombang 1. Kejadian bermula dari banyaknya kejanggalan, transparansi perjanjian serta pernyataan yang berubah-ubah dari pemangku kebijakan selama program berlangsung. Mulai dari keterlambatan pemberian indukan dan kualitas indukan yang buruk dari pihak offtaker hingga fasilitas yang tidak memadai dengan dalih pengadaannya tidak ada dalam perencanaan anggaran yang sebenarnya hanya disebabkan karena tidak matangnya persiapan serta minimnya analisis resiko di lapangan oleh pihak penyenggara program.Â
Hal-hal semacam ini tentu secara perlahan membunuh mimpi para peserta program, milenial yang digadang-gadang menjadi generasi emas penyangga pangan dalam negeri. Namun, ditengah banyaknya hambatan yang menimpa, nyatanya tidak ada yang mampu mengalahkan semangat anak muda untuk terus berusaha. Hasil panen memang tidak maksimal, tapi masih dapat digunakan untuk membayar pinjaman dari pihak bank.Â
Sayangnya, hingga akhir programpun, 4 kali hasil panen peserta program tidak dibayarkan oleh pihak offtaker. Pihak Pemprovpun hanya memberikan keterangan bahwa pihak offtaker mengalami kesulitan ekspor hasil panen karena adanya kendala perang Rusia-Ukraina.Â
Solusi yang diberikanpun tidak mengatasi permasalahan, dengan meminta peserta memasarkan sendiri, menjual lewat pameran hingga memberikan himbauan kepada ASN lingkup Pemprov untuk membeli tanaman hias tersebut dengan dana pribadi. Sedangkan menurut laporan, peserta bahkan sampai ditagih dan didatangi oleh pihak bank kerumah mereka.
Sungguh ironi, para petani muda yang datang dengan harapan orang tua dan mimpi besar membawa perubahan, harus tercederai dan pulang dengan membawa hutang.