Perempuan berusia empatpuluh satu tahun itu mengusap sudut matanya yang basah. Dia menatap tajam lelaki yang tertidur di sebelahnya. Setengah jam yang lalu, lelaki itu masih membisikkan kalimat panjang di telinganya. Mesra tapi sangat menyakitkan.
"Andai kau sesintal Nur, temanmu yang pernah main ke sini, pasti akan lebih menggairahkan, Ma," bisik lelaki itu. "Coba kau tanyakan bagaimana cara membuat dadanya membusung padat seperti itu," lanjutnya.
Mungkin, jika lelaki itu membisikkan kalimat jahanam itu di waktu lain akan berbeda rasanya. Akan tetapi, kalimat itulah yang membuat harga dirinya jatuh, diucapkan saat lelaki yang menikahinya duapuluh lima tahun lalu itu berada di atas tubuhnya.
***
"Aku memang bodoh kok, Yu," keluh Sinta, setelah menuntaskan tangisnya.
Sinta menceritakan pada Ratri, sahabatnya, tentang duka yang dialami selama pernikahannya dengan Ratno. Dia menyesali telah menyiakan masa muda demi mengabdi pada cinta pertamanya itu.
Saat itu, dia masih duduk di bangku kelas satu sebuah sekolah kepandaian putri di kotanya, dan Ratno merupakan anak pemilik warung sate di depan sekolahnya. Dia lupa bagaimana cara mereka menjadi dekat, tapi tidak lupa bagaimana Ratno berhasil merayunya berkali-kali, yang mengakibatkan Sinta hamil di luar nikah.
Menikah muda bukanlah impian Sinta, justru pernikahannya menghancurkan seribu mimpi yang sempat dia bangun dari kecil. Sinta gagal jadi guru. Apalagi semenjak Seno anaknya divonis ceberal palsy, suaminya selalu membandingkan dirinya dengan perempuan lain.
Bukan hanya itu, Ratno bahkan tega membawa perempuan lain ke dalam kamarnya, dan memperlakukannya seolah pelacur yang harus bersama-sama dengan perempuan itu bergantian melayaninya. Sinta benar-benar terhina. Meski demikian dia tidak berani melawan. Dia hadir saat Ratno mengucapkan ijab kabul  dengan selingkuhannya. Dengan leher dililit selendang, menutupi luka gorok semalam saat lelaki itu mengancam akan membuatnya bertemu almarhum bapak.
Memang, dari semua perempuan yang dinikahi Ratno, hanya Sinta yang dipertahankan. Namun, bukan berarti penderitaannya berakhir. Suaminya mulai berfantasi lebih menjijikkan, lelaki itu selalu ngoceh ga keruan saat menidurinya. Bahkan menuduhnya melakukan hubungan tak senonoh dengan pembantu yang bekerja di warung sate. Pernah satu kali Ratno menelanjangi Susi dan mengurungnya di dalam kamar mandi, karena curiga istrinya berhubungan dengannya,
"Hanya orang bodoh yang percaya kalau Susi itu anakku. Coba kau lihat, mana mungkin dia yang begitu cantik itu darah dagingku!" tuduh Ratno setiap Sinta menolak ajakan berhubungan badan.
***
"Kau tidak ingin bercerai, Sin? Mau sampai kapan?" tanya Ratri. " Lihat, sekarang bukan hanya hatimu yang disakiti, badanmu juga." Gerutu ratri.
"Nggak papa, Tri. Yang penting simbokku nggak tahu hidupku begini," pungkasnya.
Di dalam hati Sinta hanya mampu berharap penderitaannya segera berakhir. Sebelum dia mati tentunya. Perempuan itu bertahan semata demi Seno dan Susi, juga ibunya yang selalu disebut benalu oleh Ratno suaminya.
#Poeds 090323
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H