Â
Dia punya istri lagi, tulis Wahyu di pesan Whatsapp. Sebaris kalimat yang muncul di layar ponsel, memorakporandakan akal sehatku. Beribu tanya yang selama ini menggantung, terjawab. Airmata yang mengalir tanpa dapat kucegah. Segera kuhapus dengan kasar. Aku tak boleh menyerah! Aku menekan nomor yang kuhapal di luar kepala. Shit! Nomornya tidak aktif.
***
Pagi ini aku bangun dengan kepala berat, setelah semalaman mencoba menghubungi Hendri, tapi teleponnya tidak aktif. Di luar jendela, garis-garis arsir hujan terlukis apik meninggalkan jejak di kaca. Deja-vu. Suasana yang sama pernah terjadi dua tahun lalu, di kamar hotel tempat kami menginap. Dering telepon memutus lamunanku tentangnya. Hendri menjelaskan semua yang terjadi, membantah tepatnya. Rasa sakit yang semalaman kuredam kembali muncul. Semua janjinya akan segera menceraikan perempuan itu lesap bersama kesadaran yang memenuhi kepalaku.
"Aku sudah kehilangan dirimu, Mas. Semua yang terjadi adalah jalan yang ditunjukkan semesta.
Finally, jika memang kau menceraikan perempuan itu, maka kembalilah pada istri sahmu. Aku pamit, membawa semua kenangan yang pernah kita bangun." Aku mengakhiri pembicaraan dan perselingkuhan kami setelah menutup telepon dan memblokir kontaknya.
Â
Satu per satu ingatan menyeruak, mengiris perih perasaan. Sebagai seorang yang pernah memiliki setengah hatinya, aku mulai putus asa saat Hendri mulai lambat merespon pesan yang kukirimkan. Tak seperti biasanya, lelaki yang mampu mencairkan kebekuan hatiku itu menolak panggilan telepon dariku. Sebelumnya hal itu tak pernah terjadi, bahkan saat dia bersama anak istrinya.
Dimulai dari setahun lalu, saat dia pamit merantau dengan alasan usahanya gagal, aku berusaha mencegahnya. Firasat buruk hadir dalam mimpiku, dia akan tenggelam pada kemaksiatan. Jauh lebih buruk dari apa yang kami lakukan di belakang istrinya. Enam bulan berlalu, hingga masa itu tiba. Â Dhe, kirimkan aku dua ratus ribu dulu, besok kuganti, pintanya melalui pesan telepon. Jam di dinding sudah menunjuk angka sebelas malam lebih saat kukirimkan sejumlah uang lewat m-banking. Sesuai permintaannya.
***
Suara tokek di sudut sotoh rumah terdengar nyaring, seolah mengejekku yang masih saja mengingat Hendri. Lelaki flamboyant, milik  sah perempuan lain itu. Aku berdiri, melangkahkan kaki menuju jendela kamar. Lagi, kulihat layang-layang yang meliuk bebas di udara. Tak berapa lama, layang-layang lain membelitnya dan memutus benang pengikatnya.