Mohon tunggu...
Sarianto Togatorop
Sarianto Togatorop Mohon Tunggu... Guru - Pengajar yang menyukai kebebasan

Seseorang yang tak tahu kalau dia ada

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Seberapa Aman Bepergian Naik Pesawat di Masa Pandemi Ini?

12 Juli 2020   13:28 Diperbarui: 12 Juli 2020   13:21 606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bepergian naik pesawat memang menjadi pilihan banyak orang, terlebih bagi mereka yang membutuhkan mobilisasi yang cepat untuk menempuh jarak yang jauh. Pertimbangan biaya yang terjangkau juga menjadi salah satu poin penting sebelum memutuskan akan naik pesawat atau transportasi lainnya.

Pertimbangan waktu, juga merupakan salah satu faktor yang menentukan untuk memilih moda transportasi udara. Umumnya orang memilih naik pesawat dikarenakan mengejar waktu yang mungkin tidak dapat dikejar dengan moda transporatsi lainnya.

Kenyamanan juga merupakan faktor pertimbangan lainnya. Kebanyakan memilih moda transportasi udara ini adalah karena faktor kenyamanan. Penumpang di pesawat memang lebih eksklusif dan mendapat pelayanan lebih mewah dari moda transportasi lainnya. Walaupun bus dan kereta api saat ini sudah memiliki kelas-kelas yang menawarkan layanan yang memanjakan penumpang. Namun faktor lebih nyaman, bisa beristirahat, cepat dan tidak melelahkan adalah alasan memilih moda transportasi pesawat udara.

Di masa pandemi ini, arus transportasi udara yang sempat berhenti akibat penyebaran virus Corona yang banyak terjadi di jalur transportasi antarnegara dan antarwilayah seperti pesawat udara, membuat pemerintah menghentikan sementara layanan transportasi udara, hingga akhirnya dibuka kembali dengan menerapkan protokol pencegahan Covid secara ketat.

Regulasi ini membuat transportasi udara kembali bergeliat. Ekonomi yang tadinya sedikit mandek karena transporatsi udara masih sepi kini mulai ramai lagi. Penumpang pun sudah mulai berani untuk kembali bepergian naik pesawat seiring regulasi ketat yang sudah ditetapkan.

Satu hal yang menjadi pertanyaan adalah, sudah amankan naik pesawat di era new normal ini dan sejauh mana penerapan protokol kesehatan di dalam pesawat? Saya ingin berbagi pengalaman saya naik pesawat kembali setelah penerbangan dibuka dengan menerapkan protokol kesehatan.

Rapid Test

Sebelum memutuskan untuk menggunakan transportasi udara, hal pertama yang harus dipersiapkan adalah rapid test untuk memastikan bahwa kita dalam keadaan sehat dan bebas infeksi Covid.

Dua hari sebelum berangkat, saya mengambil layanan rapid test di Bandara Sultan Thaha Jambi. Ternyata di Bandara ini disediakan layanan rapid test. Dengan membayar Rp145.000,00 kita sudah mendapat layanan rapid test.

Dimulai dengan mendaftar, mengisi formulir dan pernyataan bersedia diambil sampel untuk pemeriksaan, kemudian mendapat nomor antrian dan menunggu nomor antrian kita dipanggil. Setelah dipanggil, petugas akan mengambil sampel darah dan mengujinya. Setelah menunggu sekitar satu jam lebih mengingat banyak calon penumpang yang mengikuti rapid test, akhirnya hasil uji laboratorium sudah bisa diterima.

Selain di Bandara, kita juga dapat mengikuti rapid test di rumah sakit atau layanan kesehatan lain seperti laboratorium yang menyediakan layanan rapid test. Tentu dengan harga yang beragam pula. Sejauh yang saya amati, di Jambi sendiri harga Rp.145.000,00 adalah yang paling murah.

Saya tidak ingin berspekulasi, namun pemberitaan beredar bahwa rapid test ini sendiri pun menjadi ladang bisnis. Kesempatan bagi pihak tertentu untuk meraup keuntungan dari pembuatan rapid test ini untuk keperluan perjalanan naik pesawat. Benar tidaknya saya pun tidak tahu.

Jika memang dugaan ini benar, berarti sangat dimungkinkan bahwa seorang yang terinveksi Covid dapat masuk ke pesawat dan melakukan perjalanan. Dan sangat mungkin pula ia menularkan kepada penumpang lainnya. Namun, sejauh ini belum terdengar kabar, penumpang terinveksi penumpang lain di pesawat.

Jika di daerah kita tidak terdapat layanan rapid test, maka calon penumpang dapat meminta surat keterangan tidak memiliki gejala-gejala Covid dari puskesmas. Surat ini ternyata dapat diterima juga.

Jika hanya mengandalkan surat keterangan, dapatkah menjamin bebas dari inveksi Covid? Bagaimana jika surat dibuat sebelum tanda-tanda inveksi Covid muncul? Nah di sinilah mulai terasa giamana gitu.

Mengisi eHAC Indonesia

Setelah mengikuti rapid test dan dinyatakan bebas Covid, saya memutuskan memesan tiket perjalanan. Kali ini rute perjalanan saya adalah Jambi ke Medan dengan terlebih dahulu transit di Jakarta.

Pukul 08.00 WIB saya sudah menuju bandara dengan perkiraan waktunya cukup untuk check in sebelum masuk waktu boarding 09.50 WIB. Sesampai di Bandara Sultan Thaha, saya langsung menuju pos pemeriksaan kelengkapan.

Setelah menyerahkan tanda pengenal dan bukti rapid test, suhu tubuh saya diukur dan dinyatakan tidak demam. Setelah melewati meja pertama, kemudian data-data perjalanan saya diinput dan diminta menunjukkan bukti telah mengisi eHAC Indonesia. DI sini saya bingung sebab belum mengetahui eHAC Indonesia.

Indonesia Health Alert Card, dapat didownload di playstore. Mulai dengan mendaftar dan membuat akun serta password, kemudian mengisi biodata calon penumpang, data perjalanan seperti dari daerah mana hingga menuju wilayah mana. Perkiraan sampai hingga menggunakan pesawat apa. Bahkan kondisi fisik seperti keluhan-keluhan yang kita rasakan wajib diisi. Hingga akhirnya selesai dan menunjukkannya ke bagian pemeriksaan kelengkapan. Butuh waktu sekitar 15 menit bagi saya untuk menyelesaikannya.

Untungnya saya masih punya waktu sebelum boarding ditutup. Segera setelah menyelesaikan pemeriksaan, saya segera menuju check in desk. Tentu harus melewati metal detector dan harus mengantri lagi. Beruntung antrian tidak begitu panjang, sehingga tak lama sesudahnya saya sudah sampai di check in desk.

Penerapan Social Distancing

Ruang tunggu keberangkatan Bandara Sultan Thaha Jambi (dokrpi)
Ruang tunggu keberangkatan Bandara Sultan Thaha Jambi (dokrpi)
Nah, dari pemeriksaan kelengkapan, metal detector dan check in, sebenarnya para petugas sudah berupaya menerapkan social distancing dengan mengatur antrian sehingga setiap orang selalu berjarak. Namun selalu saja ada yang mengabaikan. Bukan hanya satu dua orang, namun hanya sebagian kecil yang memang sadar tanpa diminta oleh petugas.

Pun halnya setelah masuk ruang tunggu. Tempat duduk memang sudah dibuat berjarak dengan memberi tanda tempat yang boleh diduduki dan yang yang harus dikosongkan. Satu tulisan "Kami sedang berlatih menjaga jarak sosial" membuat saya sedikit pesimis. Hanya berlatih? Padahal terjemahan bahasa Inggrisnya sudah tepat "We are practicing sosial distancing" yang seharusnya "Kami sedang menerapkan pembatasan sosial", bukan "berlatih pembatasan sosial."

Situasi penumpang dalam pesawat terlihat sepi karena pembatasan jumlah penumpang (dokpri)
Situasi penumpang dalam pesawat terlihat sepi karena pembatasan jumlah penumpang (dokpri)
Masuk ke pesawat juga belum sepenuhnya menerapkan pembatasan sosial. Hampir tak ada jarak 1,5 meter yang ditetapkan walau pun sudah diberi tanda agar batas tiap orang berdiri mempunyai jarak 1, meter. Namun tetap saja ada yang mengabaikan.

Hal yang aneh ketika saya mencoba menerapkannya, barisan saya justru dipotong oleh penumpang lain karena merasa ada ruang kosong yang saya buat. Saya hanya bisa geleng-geleng kepala.

Duduk di pesawat sudah berjarak. Baris tengah sudah dikosongkan, sehingga kursi penumpang yang semula diisi oleh 3 penumpang, sekarang hanya diisi oleh 2 penumpang dengan kursi penumpang di tengah dikosongkan.

Masalah justru terjadi setelah mendarat. Flight attendat sudah menginstruksikan agar penumpang dapat turun secara teratur dimulai dari penumpang dengan nomor 1-5 di bagian depan dan 35-39 di bagian belakang.Penumpang lain diminta untuk tetap duduk dan tidak mengambil bagasi terlebih dahulu.

Situasi penumpang yang tidak sabar turun dari pesawat (dokpri)
Situasi penumpang yang tidak sabar turun dari pesawat (dokpri)
Tetap saja penumpang mengabaikannya. Begitu pesawat berhenti, penumpang di bagian tengah sudah pada berdiri dan menurunkan bagasi. Menimbulkan antrian dan pastinya tak ada lagi social distancing. Di sinilah saya merasa ingin tepok jidat.

Dari sini saya melihat bahwa pihak maskapai dan angkasa pura sendiri telah menerapkan protokol ketat dalam mencegah penularan Covid. Namun sekali lagi, penumpang sulit sekali untuk bisa sadar bahwa kita sudah menjalankan tatanan baru dalam menggunakan pesawat udara.

Meski pun sudah berkali-kali flight atendant menyampaikan agar penumpang menerapkan social distancing, namun sepertinya bagi sebagian besar penumpang, ucapan itu hanya sebatas slogan.

Saya berkesimpulan tidak ada yang benar-benar aman. Jika pemerintah telah mengeluarkan regulasi agar dapat melakukan perjalanan dengan pesawat udara, maka tetap ada celah kebijakan ini menimbulkan celah pelanggaran. Jika maskapai dan angkasapura telah menerapkan protokol ketat, maka penumpang adalah sumber masalahnya. Kesadaran untuk menerapkan protokol pencegahan Covid secara serius masih sebatas cita-cita yang belum dicapai.

Akhirnya, perjalanan saya Jambi-Jakarta akan saya lanjutkan dengan Jakarta-Medan. Mudah-mudahan dalam perjalanan lanjutan ini, hal seperti ini tidak lagi saya temukan. Semoga tulisan ini membawa kesadaran bagi calon pengguna transportasi udara di masa pandemi ini.

ST, Ckg July

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun