Titik-titik hujan masih berjatuhan menemani pria itu berjalan pulang. Menyusuri jalanan berbatu yang basah, langkahnya gontai dipaksakan tegar. Ujung sepatunya mulai basah terkena titik hujan dari langit dan dari payung yang dikenakannya. Tangan kanannya menggenggam payung yang sesekali dihalau angin dingin yang mengalir di pipinya. Wajah yang tak lagi dirawat itu ditumbuhi kumis dan janggut yang satu per satu mulai memutih. Tas hitam berbahan kulit di tangan kanannya digenggamnya erat. Pria paruh baya berpakaian hitam itu berjalan menembus titik-titik hujan, di bawah awan hitam dan pepohonan yang kedinginan di jalan setapak menuju rumahnya.
Pagar putih dari kayu, sebulan lalu baru dicat tukang kebun yang sesekali datang merawat tanaman di dalamnya. Sebuah kotak surat dari kayu berdiri di sebelah pintu masuk menuju pekarangan. Pria itu berdiri menatap kotak surat di hadapannya. Menyelipkan tasnya di ketiak tangan kanannya yang masih menggenggam payung. Tangan kirinya membuka kotak surat dan menarik sepucuk surat bergambar angsa kesukaan istrinya. Angela, untuk suamiku tercinta, tertulis di sana. Pria itu melangkah masuk dan menutup pintu.
"Bram, bagaimana kabarmu? Kuharap kau selalu baik. Jaga kesehatanmu." Baris pertama surat itu. "Bagaimana aku bisa sehat Angela? Aku tak bisa sehat tanpamu." Rintih batin pria itu. "Bram, rumah baruku ini terasa indah, banyak seruni tumbuh sepanjang jalannya. Warnanya putih. Kesukaan kita kan? Bram, kau masih memelihara seruni di taman rumah kita kan? Aku merindukan kita duduk berdua di teras rumah kita menanti matahari tenggelam dengan secangkir teh dan bau seruni menghinggapi hidung kita. Baunya masih bisa kuhirup sampai ke sini Bram. Bram, di sini terasa sunyi. Aku menantikan kehadiranmu di sini. Aku akan tanami seruni sambil menunggumu di sini. Dengan penuh cinta, Angela. Istrimu."Â
Pada baris terakhir surat itu, air mata pria itu menetes. Berjatuhan di pahanya. Terduduk ia di tempat tidurnya, kepalanya ditopang oleh tangannya dengan kedua sikunya menempel di pahanya. Bahunya naik turun menahan nafas yang menyesak. Suara tangisan yang tertahan dalam diam, hanya air mata yang tak berhenti mengalir. Hujan di luar sana menjadi sama seperti air matanya. Menetes membasahi seruni yang tumbuh di halaman rumah. Bintik-bintik air bersembunyi di balik kelopak halusnya.
***
Kicau burung membuka pagi. Matahari mengintip di balik awan yang masih berkabut. Cahayanya menyusup di antara dedaunan pohon, mulai menerpa bunga seruni yang masih menyimpan titik-titik air. Titik-titik air masih berjatuhan dari dedaunan pohon, sebagian lagi mulai menguap terkena panas matahari.
Bram menyingkap tirai jendela kamarnya, membiarkan cahaya matahari malu-malu menembus kaca jendela. Cahayanya memantul di kulitnya, menyilaukan matanya yang masih terbuai kegelapan. Dari belakang, Bram hanya silhouette yang bermandikan cahaya. Seperti hatinya yang masih berduka. Bram masih menutup jendela-jendela dalam hatinya. Jendela yang dulu terbuka untuk cahaya.
Bu Yem, janda tua yang sehari-hari bekerja untuk Bram, telah memasak sarapan pagi. Secangkir kopi dan roti dengan telur dadar telah terhidang di meja. Bram menyeruput kopi paginya, kehangatan menyeruak di dalam perutnya.
Bu Yem hanya mengamati Bram, tak sedikit kata keluar. Hanya memperhatikan pria malang yang tengah duduk di hadapannya. Telah dua bulan pria menyedihkan itu dirundung malang. Dulu rumah itu penuh tawa, kebahagian dan kehangatan. Sekarang, diam lebih mendominasi dalam ruang-ruang di rumah kecil itu. Bu Yem telah bekerja untuk Bram dan Angela sejak suaminya meninggal. Angela yang membawa Bu Yem bekerja, janda itu ditinggal suami tercintanya 5 tahun lalu. Bu Yem yang tak punya apa-apa, hidup sendirian, tanpa sesuatu untuk bertahan hidup.
Bram menikmati sarapannya dalam diam. Kelopak matanya menandakan pergumulan melewati malam. Bu Yem bisa melihat itu dalam raut wajah Bram. Sekali lagi, seperti hari-hari sebelumnya, Bu Yem tanpa kata mencoba memahami pergolakan hati Bram.
Pukul 08.05 Bram telah bersiap. Coat Blazer hitam pemberian Angela di ulang tahun Bram setahun lalu, selalu menemani Bram bekerja. Tas hitam kesukaannya berisi kenangan dan harapan masa depan.
Bram melangkah meraih gagang pintu. Suara Bu Yem menghentikan langkahnya saat pintu itu terbuka. "Hari ini hari Sabtu. Apa Ibu harus menyiapkan bunga lagi?", tanya Bu Yem membuat Bram menghela napas. Ada sedikit keraguan Bu Yem menanyakannya. "Siapkan saja seperti biasanya. Terima kasih Bu Yem." Sebuah anggukan Bram tanda pamit diri.
Seruni menghiasi jalan setapak menuju pagar. Serini sedang mekar, harumnya menghinggapi hidung Bram sepanjang jalan setapak. Bau harum Angela. Sebelum meningalkan pekarangan, Bram berdiri menghadap kotak surat. Gambar telapak tangan Angela masih menempel di kotak surat itu. Angela mematrikan telapak tangannya di kotak suat itu 2 tahun lalu saat mereka membuatnya. "Seperti Elli dan Fredicksen di film Up", serunya waktu itu.
Bram menempelkan telapak tangannya di gambar telapak tangan Angela. Merasakan kembali erat tangan Angela menggenggam tangannya setiap kali mereka berjalan menyusuri jalan setapak itu. Berpelukan dan tawa menghiasi bibir mereka. Berjalan bersama sambil memegangi seruni yang tumbuh subur di jalan setapak itu.
Sedih kembali menguasai hati Bram. Air mata mencoba menerobos sudut matanya. Tertahan oleh amarah yang bersembunyi di balik rasa tegar yang coba dibangun. Bram menarik sesuatu dari dalam tasnya. Sepucuk surat dengan amplop bergambar angsa bertuliskan "Angela, untuk suamiku tercinta". Diamatinya dalam-dalam, lalu memasukkannya ke dalam kotak surat.
***
Bus berhenti di halte depan kantor pos. Bram turun dan menyeberang menuju kantor pos. Dari jauh petugas kemanan telah mengenal sosok yang rutin berkunjung ke kantor pos itu. Stelan Coat Blazer dan tas kulit di tangannya membuatnya mudah dikenali. Belum lagi cara berjalannya yang lunglai. Kegagaghan dan rasa percaya diri yang telah hilang. Berganti duka yang melemahkan tulang.
"Oh tidak, lelaki itu lagi." Gumam petugas pos saat Bram masuk setelah security membukakan pintu untuknya. Dua pegawai pos di bagian depan saling berpandangan. Masing-masing telah mengetahui kata-kata di dalam hati mereka. "Pria aneh itu datang lagi."
Tanpa basa-basi Bram mengeluarkan sepucuk surat dari dalam tasnya. Menyerahkannya kepada petugas pos. Petugas pos memandangi selembar surat yang baru diterimanya, bertuliskan Angela Sutarman sebagi penerimanya. Ia lantas memperhatikan raut wajah Bram. Hanya tertunduk dan tanpa ekspresi mendalam.
"Bapak yakin akan mengirimkan surat ke alamat ini pak?" Tanya petugas pos seperti sebelum-sebelumnya. Pertanyaan yang sebenarnya tak perlu dijawab, karena dia sudah tahu jawabannya. "Ya, kirimkan saja ke alamat itu." Jawab Bram. Sekali lagi ia menatap wajah Bram, lalu beralih ke rekannya. Mereka kembali berpandangan. Dua wanita yang kebingungan itu. Salah satu di antaranya mengangguk. Petugas pos itu menempelkan perangko lalu memberi cap pada surat itu. Bram membayar biaya perangko dan segera beranjak.
Saat punggung Bram sudah menghilang di balik pintu, wanita tadi menggumam. "Oh Tuhan, aku rasa dia sudah gila." Sambil meletakkan surat Bram. "Harus ke kemanakan surat ini?" Bertanya sambil memilih tumpukan surat ke tujuan yang sama.
"Dia mengirimkan surat kepada istrinya lagi?" dibalas "he'mmm. Seperti minggu lalu, minggu sebelumnya dan sebelumnya lagi sepanjang dua bulan terakhir." Sahut wanita penerima surat itu sambil akhirnya meletakkan surat di salah satu tumpukan.
"Pria yang malang." Tukas wanita satunya. "Ya begitulah. Aku rasa dia belum bisa melupakan istrinya. Kasihan sekali. Setiap minggu mengirimkan surat kepada istrinya. Dan semua surat yang dikirimkan kembali lagi ke rumahnya. Itu pekerjaan sia-sia."Â
"Memangnya apa yang terjadi dengannya?" Tanya seorang pengunjung yang dari tadi mengantri di belakang antrian Bram. "Wabah setahun lalu, kau masih ingat?" pria itu mengangguk. Wanita itu melanjutkan, "Istrinya seorang dokter, ditugaskan untuk membantu menangani wabah. Dua bulan lalu istrinya meninggal karena wabah itu. Kasihan sekali."
"Lalu, surat-suratnya?" Pria itu penasaran. "Dulu dia dan istrinya rutin berkirim surat, apalagi setelah istrinya ditugaskan untuk membantu menangani wabah. Setiap minggu mereka biasa berkirim surat. Namun setelah istrinya meninggal, Pak Bram tetap mengirimi surat kepada istrinya. Aku rasa dia belum bisa melupakan istrinya dan berharap masih rutin menerima surat-surat dari istrinya."
"Kasihan sekali."
***
Tukang Pos berhenti di depan pagar rumah Bram. Mengeluarkan sepucuk surat dan memasukkannya ke kotak surat, lalu segera beranjak. Bu Yem berlari meninggalkan seruni yang sedang dipotongnya.
Bu Yem mengambil surat dari dalam kotak surat. Ada dua surat, satu surat yang dimasukkan Bram tadi pagi dan satu lagi surat yang dikirimkan Bram minggu lalu. Surat itu kembali kepada pengirimnya. Bu Yem mengambil surat itu dan meninggalkan surat yang dimasukkan Bram tadi pagi.
Di bawah pot bunga, Bu Yem mengubur sebuah kotak, semuanya berisi surat-surat Bram untuk Angela dua bulan terakhir. Bu Yem menguburnya, tak tega melihat Bram melihat surat-surat itu kembali.
Bram punya kebiasaan aneh belakangan ini. Sering menulis surat untuk Angela. Kebiasaan yang dulu mereka lakukan setelah Angela dipindahtugaskan untuk menangani wabah. Mereka terpisah jarak. Surat menjadi media mereka saling bicara.
Semenjak Angela meninggal, Bram masih rutin menulis surat untuk Angela. Bram belum bisa menerima kepergian Angela. Setiap minggu ia menulis surat untuk Angela. Bahkan, ia sering menulis balasan suratnya sendiri menggantikan Angela. Surat yang ditinggalkannya di kotak surat adalah surat yang ditinggalkannya tadi pagi adalah surat balasan bagi surat Bram sebelumnya. Bram menjadi aneh. Bram menghidupkan sosok Angela dalam dirinya melalui surat-suratnya. Setiap malam Bram akan menulis surat untuknya menggantikan Angela. Dan meletakkannya di kotak surat Angela. Sore hari, ia akan mengambil surat dari kotak surat, seolah-olah menerima surat dari Angela. Membacanya lalu menangis semalaman.
Bu Yem memotong beberapa batang seruni. Mengikatnya dan meletakkannya dalam vas bunga berisi air. Meletakkannya di atas meja di dekat pintu masuk. Bram akan mengambilnya sepulang kerja.
***
Bram melangkah gontai menuju sebuah taman lahan kosong. Bunga-bunga seruni tumbuh mekar menghiasi jalan setapak menuju lahan itu. Di sana, sebuah makam terpisah dari makam lainnya. Lahan yang dikhususkan Bram untuk mereka berdua.
Sebuah prasasti bertuliskan "Angela, Istri secantik seruni" yang diersembahkan Bram untuk sitri tercintanya. Bunga-bunga seruni menghiasi makam Angela. Sangat cantik. Rumah baru Angela dipenuhi seruni putih kesukaannya.
Bram meletakkan seikan seruni di pusara Angela. Mengelus pusara Angela membisikkan "Sayang, aku datang. Apa kau merindukanku? Aku sangat merindukanmu." Di kata terakhir itu Bram meneteskan air matanya. Dalam isak tangisnya, Bram mengeluarkan surat dari sakunya. Bram meletakkannya di pusara Angela. "Aku mencintaimu Angela. Selalu."
Mentari sore itu bergulir menyusuri jalan pulangnya. Pria itu belum mau beranjak meninggalkan pusara kekasihnya. Cinta masih menahannya untuk bersama, menikmati kenangan senja dengan secangkir teh dan bunga seruni di halaman rumahnya. Pelukan dan senyum penuh cinta dari istrinya selalu dirindukannya. Aroma seruni selalu membawa kenangan itu kembali dalam ingatannya.
ST, Djb July
*Seruni dalam ingatan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H