Mohon tunggu...
Sarianto Togatorop
Sarianto Togatorop Mohon Tunggu... Guru - Pengajar yang menyukai kebebasan

Seseorang yang tak tahu kalau dia ada

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

"Mana Cukup?", Awal Mula Niat Korupsi dalam Pekerjaan

27 Juni 2020   11:58 Diperbarui: 28 Juni 2020   03:00 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gaji yang sedikit (THINKSTOCKS/FITRIYANTOANDI via ekonomi.kompas.com)

Di tahun-tahun awal karir saya, tentu saya menjalani masa percobaan dan hanya menerima gaji sekitar 80% dari gaji penuh saya. Dan kalau dihitung-hitung pada masa itu, jumlahnya masih sekitar 1,6 juta dalam satu bulannya. Berbeda drastis dengan pekerjaan saya sebelumnya yang sudah mendapat angka penghasilan lebih dari itu.

Siapa yang tak ingin penghasilan yang besar. Semua pasti ingin. Namun jika situasinya adalah gaji yang ditetapkan untuk seorang pegawai baru sesuai ketentuan yang ada, maka saya yakin jumlah itu sudah dipertimbangkan. Dah harus cukup untuk diri saya sendiri.

Bas, teman saya. Sudah berkeluarga dengan 1 orang anak pada masa itu. Hidup dengan gaji belum mencapai angka 2 juta dengan tanggungan istri dan anak tentu berat. Terlebih masih dalam masa percobaan. Penghasilan belum penuh.

Berbeda sekali dengan Johan, berbeda unit kerja dengan saya. Masih single, tinggal dengan orangtua yang masih menanggung hidupnya. Penghasilannya sepenuhnya untuk dirinya. Namun masih mengeluh bahwa gajinya tidak cukup untuk dirinya. 

Bas sampai geleng-geleng kepala setiap kali mendengar keluh kesah Johan. Maklum, Johan anak yang cukup berada dan gaya hidup mewah. Lalu kenapa menerima pekerjaan ini kalau sudah tau penghasilannya tak seberapa?

Gaya Hidup
Salah satu penyebab utama penghasilan yang tak pernah cukup adalah gaya hidup. Kebiasaan hidup tidak menyesuaikan dengan penghasilan menjadi penyebab kebangkrutan perekonomian diri atau keluarga bagi yang sudah berumah tangga.

Bas dan Johan penghasilannya sama besarnya. Dengan gaji yang sama, Bas masih menghidupi anak dan istrinya. Sementara Johan hanya untuk dirinya sendiri. 

Istri Bas memang menerapkan gaya hidup sesuai standar gaji suami. Belanja sesuai kebutuhan dan menahan pengeluaran untuk hal-hal yang tidak penting. Sebisa mungkin berhemat, mengupayakan ada tabungan untuk jaga-jaga pada suatu keadaan yang tidak terduga.

Beda dengan Johan. Hidup single, jalan ke sana ke mari, nongkrong sana sini, belanja ini dan itu dan menggunakan barang serba bermerek. Penghasilan tentu tak mencukupi. Padahal untuk makan, Johan masih bergantung pada orangtua.

Jika dengan jumlah uang yang sama, Bas mampu menghidupi keluarganya, sementara Johan tak cukup untuk menghidupi dirinya sendiri, maka masalahnya bukan di jumlah uangnya. Namun penggunaannya. 

Istri Bas dapat mengatur keuangan dengan ketat. Menerapkan gaya hidup yang sesuai dengan gaji suami. Segala pengeluaran diperketat sehingga gaji suami cukup untuk sebulan.

Menghitung Uang (sumber: tradeexchange.ae)
Menghitung Uang (sumber: tradeexchange.ae)
Setelah hampir dua tahun barulah kami menerima gaji full. Berbagai tunjangan mulai dihitung dan penghasilan tiap orang menjadi bertambah. 

Penghasilan Bas meningkat tajam sebab tunjangan anak dan istri serta berbagai tunjangan lainnya sudah memenuhi daftar gaji. Namun istri Bas tetap menerapkan gaya hidup sesuai gaji suami. Maka jumlah gaji itu tetap mencukupi. Sementara Johan tetap merasa kekurangan.

Berhemat, Bukan Pelit
Bedakan berhemat dengan pelit. Berhemat berarti mengeluarkan uang dengan perhitungan yang tepat, sehingga tidak ada yang terbuang sia-sia. Pelit justru tidak mau mengeluarkan uang bahkan pada hal-hal yang sifatnya penting.

Hemat adalah kebijaksanaan dalam pengelolaan uang. Sementara pelit adalah keengganan mengeluarkan uang termasuk bagi kebutuhannya sendiri. 

Orang pelit cenderung menerapkan gaya hidup memanfaatkan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Misalnya, suka memanfaatkan peluang makan gratis dan selalu minta ditraktir walaupun punya uang.

Saya mengenal seorang ibu rumah tangga di sekitar kediaman saya sebagai orang yang sangat hemat. Padahal suaminya mempunyai penghasilan yang besar, namun tak serta merta membuatnya boros dalam membelanjakan uang. Selalu belanja dengan hati-hati memilih barang, mengutamakan yang baik dan harga lebih murah. Memasak dengan jumlah secukupnya. Menggunakan alat-alat rumah tangga seefisien mungkin. 

Tidak masalah membeli barang yang sedikit lebih mahal namun lebih awet dari pada tiap bulan beli baru. Selalu menahan diri membeli sesuatu yang keperluannya kurang mendesak, tidak mau tergoda diskon barang-barang yang belum menjadi kebutuhan. Kecuali sudah butuh, diupayakan cari yang ada diskonnya. 

Berpakaian sederhana dan tidak harus selalu update mode pakaian. Menghindari perkumpulan sosialita meski ia sanggup untuk itu. Sesekali mengundang kami makan di rumahnya dengan memasak masakan sederhana dan jumlah yang tidak berlebihan.

Gaya Hidup dan Korupsi
Kebutuhan hidup memang terus akan meningkat, tapi bisa dikendalikan. Ada kebutuhan yang memang tak bisa kita hindari, misalnya pendidikan, akan terus mengalami peningkatan. Namun kebutuhan lain tidak harus meningkat.

Gaya hidup menjadi kunci utama apakah penghasilan kita akan cukup atau tidak. Saya teringat pada satu petuah, "Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah". Sebuah petuah sederhana memang yang saya coba renungkan. Apa yang membuat kita bisa menikmati hidup dalam keterbatasan keuangan adalah "Cukuplah". 

Belajar mencukupkan semua kebutuhan. Bukan artinya mengabaikan kebutuhan kita yang mendasar, namun untuk hal lain yang kurang mendasar, belajarlah untuk berkata "cukup".

Cukup dalam arti, boleh-boleh saja dipenuhi, namun porsinya tidak perlu sebanyak kebutuhan utama. Dan jika tidak memungkinkan untuk memenuhinya maka cukup di sini berarti tidak perlu memenuhinya.

Cukup tentu bukan berarti melepas peluang mendapatkan penghasilan yang lebih baik. Misalnya beberapa teman saya yang berdagang di sela-sela waktu senggangnya, dengan tidak melupakan pekerjaan utamanya. Namun tidak juga dengan mengambil sesuatu yang bukan menjadi hak kita.

Korupsi sebenarnya adalah masalah mental yang lahir dari ketidaksiapan mencukupkan diri, yang dibuahi dengan tindakan menipu atau mengelabui sistem yang motivasinya sudah tentu adalah uang.

Saya tidak ingin berbicara korupsi dalam jumlah besar, namun korupsi dalam jumlah kecil pun tetap namanya korupsi. Korupsi kecil akan menuntut aktualisasi pada korupsi yang lebih besar. Dimulai dari keinginan memperoleh sesuatu yang sebenarnya hanya untuk gaya hidup. 

Mengandalkan penghasilan yang tak memadai tentu tak akan menjadikan gaya hidup itu terpenuhi. Maka saat ada kesempatan, muncullah niat korupsi. Yang pada akhirnya menjadi sebuah habit yang sulit untuk dihilangkan.

Tepatlah perkataan, "Akar dari segala kejahatan adalah cinta uang". Siapa yang tak butuh uang? Semua pasti butuh. Namun tidak semua orang rela melakukan apa saja demi uang, walau pada umumnya orang rela melakukan banyak hal untuk memperoleh uang.

Melatih diri mencukupkan diri untuk menerapkan gaya hidup yang sesuai dengan penghasilan tentu akan menolong kita untuk tidak tergoda pada kesempatan melakukan korupsi.

Cukupkanlah dirimu dengan gajimu.

ST, Djb June

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun