Mohon tunggu...
Sarianto Togatorop
Sarianto Togatorop Mohon Tunggu... Guru - Pengajar yang menyukai kebebasan

Seseorang yang tak tahu kalau dia ada

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Biarkan Siswa Menemukan Solusi, Menghadapi Kegagalan, dan Terbiasa dengan Kesulitan

8 Juni 2020   05:10 Diperbarui: 8 Juni 2020   17:30 748
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah lama ingin menuliskan ini, namun selalu diliputi rasa enggan. Sampai sesuatu pagi ini memantapkan saya untuk menuliskan unek-unek ini. 

Sebuah pesan di WhatsApp yang sebenarnya sudah masuk menjelang pukul 24.00 malam tadi. Sepertinya pengirimnya tak bisa tidur memikirkan hal ini. Saya sudah tertidur dan pagi harinya barulah saya membuka pesannya.

Pesan itu datang dari salah seorang rekan kerja saya. Tepatnya seorang wali kelas di mana saya mengajar kelasnya. Sangat wajar seorang wali kelas akan berkomunikasi dengan guru lain untuk menyelesaikan permasalahan anak-anak kelasnya. Dan tentu saja, ini ada urusan masalah dengan anak-anak kelasnya.

Langsung saja ke permasalahannya. Semenjak PSBB diterapkan dan sekolah dianjurkan untuk melaksanakan pembelajaran moda daring, siswa dan guru melakukan peroses belajar jarak jauh, menggunakan media internet untuk saling terhubung dan ruang kelas berubah menjadi dunia maya dan tatap muka berganti menjadi live streaming atau sekadar memutar video pembelajaran. Ada juga yang langsung dibimbing dalam WhatsApp Group. Entah apa pun metode yang dipergunakan, yang penting tidak dengan berkumpul di dalam kelas.

Berbeda dengan kelas lainnya, kelas ini unik karena jumlah siswa yang muncul dalam aktivitas belajar daring hanya sebagian kecil. Laporan tugas yang masuk pun jumlahnya tak sepadan dengan jumlah siswanya. 

Sepengetahuan saya hanya beberapa yang tidak memiliki gawai untuk terkoneksi internet. Namun anehnya, justru nama mereka tetap tercantum dalam daftar siswa yang sudah melaporkan tugas. Artinya mereka dengan kesulitan yang mereka hadapi, berhasil menemukan solusi atas kesulitan mereka, yaitu dengan meminjam gawai orang lain untuk sekadar mengirimkan tugas.

Ke mana sisanya? Saya menduga mereka kurang peduli dan mencoba menghindar dari kegiatan kelas daring, karena tidak tatap muka langsung dengan guru, sehingga mungkin keberanian untuk menghindari kelas muncul seketika. Tapi anehnya hal tersebut bertahan lama. Kalau tak salah wali kelasnya juga mengalami hal yang sama, bahkan sampai mengejar mereka ke media sosial lainnya seperti Facebook supaya tetap aktif dalam kegiatan belajar, minimal mengumpulkan tugas harian. Namun hasilnya belum signifikan.

Sampailah akhirnya pada Ulangan Kenaikan Kelas (UKK). Menurut Surat Edaran Kementerian Pendidikan bahwa untuk pelaksanaan UKK, disarankan menggunakan moda daring, luring, atau kombinasi keduanya. Sementara sekolah menetapkan bahwa UKK dilaksanakan dengan metode penugasan. 

Siswa akan diberi naskah soal yang dibagikan secara berjadwal menghindari siswa berkerumun dan akan dikumpulkan secara berjadwal juga. Walau sebenarnya saya tidak setuju pada cara ini karena akan menyebabkan siswa ke luar rumah mengabaikan anjuran stay at home. Saya tetap memilih melaksanakan UKK secara daring. Mungkin saya sendiri atau ada beberapa guru lain.

Ekspresi Siswa Saat Kesulitan Menjawab Soal Ujian (Sumber Foto: nationalenglishcentre.com)
Ekspresi Siswa Saat Kesulitan Menjawab Soal Ujian (Sumber Foto: nationalenglishcentre.com)
Di sini masalahnya. Terjadilah perbincangan yang sangat serius antara saya dan wali kelasnya. Wali kelasnya bersikeras bahwa melaksanakan UKK dengan sistem daring tidak efektif karena siswanya tidak banyak yang aktif selama kegiatan belajar moda daring, sehingga akan banyak siswa yang tidak mengikuti UKK.

Saya tetap pada pendirian saya bahwa pilihan terbaik buat saya saat ini adalah UKK secara daring, dengan pertimbangan itu lebih aman buat siswa dan keluarganya, juga aman buat saya. 

Kedua, saya memilih ini karena sesuai dengan anjuran pemerintah. Ketiga, lebih memudahkan saya dalam mengoreksi UKK karena tidak harus datang ke sekolah dan meminta lembar jawaban. Keempat, saya berada sangat jauh dari sekolah, sehingga tidak efektif buat saya.

Satu ucapan yang sangat sulit saya terima hingga saya memutuskan untuk menulis ini adalah "Bapak jangan menimpakan kesulitan bapak kepada siswa. Kalau bapak tidak bisa mengambil lembar jawaban untuk dikoreksi, itu urusan bapak, tapi jangan mempersulit anak-anak saya."

Sebentar, saya tarik nafas dulu. Saya tidak mempersulit siswa dengan membuat UKK secara daring, tapi saya memilihnya karena saya rasa itu lebih efektif buat saya dan siswa. Dan sekali lagi, itu seusai dengan anjuran pemerintah. Siswa merasa susah? Itu masalahnya. Mereka merasa susah untuk sesuatu yang seharusnya wajar untuk mereka.

"Itu tidak efektif, Pak. Mohon dipertimbangkan lagi." Saya menutup perbincangan serius kami dengan undur diri. "Saya sudah mempertimbangkannya, Bu. Saya ingin anak-anak belajar bahwa mereka harus berjuang untuk meraih sesuatu. Mereka harus UKK dan sudah seharusnya mereka serius menghadapinya. Beri mereka kesempatan menghadapi realita, jika mereka tak mengikuti UKK, mereka tak mendapat nilai. Tugas kita mendorong mereka, bukan menawarkan kemudahan." Namun urung saya kirim, karena akan semakin panjang, sebab jam sudah menunjukkan waktu bagi saya memulai UKK secara daring.

Beri Mereka Kepercayaan Menemukan Solusi
Semua kita pasti menghadapi berbagai kesulitan, anak-anak itu juga begitu. Dalam situasi saat ini banyak yang mengeluhkan kesulitan mengikuti kelas daring karena tidak memiliki gawai Android. 

Saya tidak menawarkan mereka solusi, saya hanya mendorong mereka berpikir bagaimana mengatasinya, dengan cara sederhana yang tak menyusahkan orangtua. 

Mereka menemukan sendiri solusinya. Meminjam gawai orangtua, tetangga, atau siapa saja orang terdekat yang bisa meminjamkan untuk sekadar mengirimkan tugas harian mereka.

Ada yang kesulitan dalam ketersediaan kuota internet. Mereka menemukan sendiri solusinya, menggunakan Messenger berbasis free. Ada yang langsung kirim ke Messenger saya, ada juga yang lewat perantaraan temannya.

Siswa yang menaruh keseriusan, pada akhirnya menemukan cara tersendiri untuk mengatasi keterbatasannya. Terkecuali bagi mereka yang tak ambil pusing. Mereka menunggu diberi solusi.

UKK ini hanya salah satu dari sekian banyak cara untuk menguji kreativitas menemukan solusi atas permasalahan. Dan dari sini akan terlihat siapa siswa yang mengalami proses belajar yang sesungguhnya. 

Mereka belajar agar memiliki kemampuan menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan, bukan menunggu solusi diberikan. Mereka perlu belajar berani mengambil keputusan dengan berpikir terlebih dahulu.

Biarkan Mereka Menghadapi Kegagalan
Tampaknya wali kelas mereka khawatir siswanya akan gagal. Menurut saya wali kelasnya terlalu berlebihan. Siapa yang tidak pernah gagal? Semua kita pernah menghadapi kegagalan. Dan saya yakin, setiap kegagalan itu mengajarkan lebih banyak hal yang nyata kepada kita ketimbang keberhasilan.

Hidup ini masing-masing punya konsekuensi, termasuk bagi siswa dalam pendidikan. Yang sungguh-sungguh belajar tentu akan menikmati hasil kesungguhannya, walau saya yakin di antara yang sungguh-sungguh itu pun masih ada yang menikmati kegagalan. Apalagi yang tidak sungguh-sungguh.

Bagi mereka yang tidak sungguh-sungguh, biarkan mereka menghadapi realita, bahwa ketidakseriusan mereka dalam belajar akan menyebabkan mereka menerima konsekuensi atas ketidakseriusannya. Jika untuk UKK sendiri mereka sulit untuk serius, mengapa kita harus memberi mereka nilai?

Saya sudah 2 tahun mengajar di kelas itu dan sungguh kelas yang berat dari yang lain, sangat minim motivasi. Namun yang saya perhatikan, salah satu penyebabnya adalah mereka terbiasa diberi rasa belas kasihan. 

Bukan kita tidak sayang pada mereka, tapi rasa sayang itu justru tidak dengan menggantikan kita menanggung kesusahan yang mereka buat pada dirinya. Biarkan mereka menikmati hasil dari kemalasan mereka, supaya mereka melihat bahwa dengan bermalas-malas mereka akan semakin dekat dengan kegagalan.

Tak mengapa saya rasa jika mereka harus tinggal kelas. Jika mereka pantas untuk itu. Bukankah itu menjadi kesempatan mereka untuk belajar bahwa kalau mau naik kelas, ya harus belajar keras. 

Tak masalah jika nilai mereka belum tuntas. Itu jadi kesempatan mereka untuk belajar bahwa untuk tuntas mereka harus melalui semua proses, belajar, latihan dan ulangan bahkan harus remidi.

Biarkan Mereka Terbiasa Menghadapi Kesulitan
Bukan bermaksud dengan sengaja mempersulit hidup orang lain, jangan lakukan itu. Sebisanya kita adalah orang yang membantu mengatasi kesulitan orang lain. Namun, adakalanya kita mengurangi peran kita dengan hanya membantu sesuatu yang memang sudah tidak mampu lagi diatasi.

Saat mengajar dan memberikan latihan, saya terbiasa memberi soal latihan dengan tiga tipe: Mudah, sedang dan sulit. Saat menghadapi latihan yang sulit, kebanyakan siswa akan gelisah, merasa kesulitan, mencoba sekali saja lalu berhenti, ada juga yang mencoba beberapa kali namun tetap belum mampu menemukan solusinya. Dan tentu saja, mereka akan meminta saya yang menyelesaikannya.

Menyelesaikannya bisa jadi adalah solusi tercepat, namun saya tak akan menyelesaikannya, sebab itu latihan mereka. Jika saya menyelesaikannya, saya justru mendidik bahwa menghadapi kesulitan adalah dengan meminta bantuan orang lain, padahal itu adalah solusi terakhir. 

Saya lebih memilih memberi sedikit petunjuk bagaimana menyelesaikannya. Sedikit saja, hanya untuk membuka pemikiran mereka. Di langkah berikutnya, mungkin saja mereka akan menemukan kendala lagi, alu tugas saya adalah memberi petunjuk lagi. Hingga akhirnya mereka bisa menyelesaikannya dengan sedikit bantuan saya, bukan saya yang menyelesaikannya.

Mereka yang terbiasa menghadapi kesulitan tidak akan takut lagi jika menghadapi kesulitan. Dan mereka yang mampu menyelesaikan kesulitan akan memiliki kepercayaan diri mampu mengatasi kesulitan.

Kembali ke kasus awal tadi. Masalah yang dihadapi kelas itu adalah terbiasanya diberi solusi, terbiasa diberi nilai tuntas pada sesuatu yang mereka belum layak untuk tuntas. 

Mengapa untuk belajar yang merupakan keharusan bagi mereka, mereka justru enggan melakukannya? Karena mereka terbiasa, tanpa usaha mereka tetap mendapat nilai. Tanpa perlu belajar keras mereka akan mendapat nilai sebatas tuntas.

Lalu datang lagi urusan UKK. Mengapa untuk urusan UKK saja, guru harus mengalah? Mengapa guru harus korban mengejar mereka supaya ulangan. Itu tidak mendidik. Biarkan mereka memilih, untuk mendapat nilai harus melalui UKK. 

Untuk mencapai ketuntasan, tidak cukup dengan nilai kasihan dari guru, harus usaha dengan sungguh-sungguh. Tak masalah jika mereka tak ikut UKK, sebagai gantinya tak masalah juga kalau mereka belum diberi nilai tuntas. Sebab ada sebab, maka harus ada akibat.

Saya menyelesaikan sesi UKK secara daring pukul 11.30 setelah dimulai pukul 08.00 untuk dua sesi. UKK berjalan lancar. Memang ada siswa yang tidak mengikutinya. Tak mengapa buat saya. Nilainya saya umumkan, yang mengikuti UKK mendapat nilai, yang tidak ikut tetap tidak ada nilai.

Kelas yang wali kelasnya meminta saya membatalkan UKK secara daring justru siswanya semakin banyak yang ikut UKK. Memang belum semuanya, namun jumlahnya melebihi setengah, biasanya hanya 10 orang. Dan yang belum UKK mulai ramai menghubungi saya.

Kemudahan tak selalu jalan terbaik. Mudah belum tentu adalah solusi. UKK secara konvensional memang mudah, tapi kurang tepat dengan keadaan sekarang. 

UKK moda daring sedikit menyusahkan saya, karena harus terpaku dengan layar gawai saya. Tapi tak mengapa, dari rasa susah ini saya akan belajar pengetahuan yang baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun