Ketua MPR RI, Bambang Susatyo yang terpilih secara acak memberikan pertanyaan kepada Kalista apakah ia hafal kelima sila Pancasila. Walau mencoba untuk menyebutkan satu per satu sila Pancasila, namun nyatanya Kalista tak mampu menyebutkan sila ke empat dengan sempurna. Dan sebagai lanjutannya, Kalista harus terhenti di top 6 dan impian menjadi Puteri Indonesia sirna.
Gagal dalam perhelatan kecantikan itu, Kalista harus menghadapi tekanan lain, komentar publik. Tak hafal Pancasila seperti noda di negara ini. Tak hafal Pancasila seolah tak punya nilai patriotisme, tak punya kecintaan kepada NKRI, belum menjadi bagian Indonesia.
Tak hafal Pancasila untuk seorang Kalista yang sarjana hukum akan membuatnya terlihat tak punya pengetahuan sama sekali. Bayangkan, gelar akademik yang dia raih dengan susah payah, seolah kalah dengan sebuah ujian hafalan Pancasila. Seolah Pancasila hanya dimaknai dengan kata-kata.
Sah saja dalam sebuah kompetisi seperti itu memberi pertanyaan secara bebas, namun perlu memikirkan efek dari pertanyaan serta jawaban yang akan ditimbulkan. Adakah korelasi antara hafal Pancasila dengan kualifikasi Puteri Indonesia? Kalau ada, kenapa itu tidak dijadikan syarat pendaftaran sebelum kompetisi, bahwa yang boleh menjadi Puteri Indonesia hanya yang hafal Pancasila.
Imbas lain dari pertanyaan ini adalah, jika tujuan Bambang Susatyo adalah untuk menguji pengetahuan peserta, mengapa menjadikan hafalan Pancasila sebagai tolak ukurnya. Hafalan, kita semua tahu level hafalan bukan? Ya, berada pada taksonomi terendah dari pengetahuan. Jika Bambang Susatyo yang adalah ketua MPR saja menempatkan Pancasila dalam taksonomi terendah untuk menguji pengetahuan, maka yang saya takutkan jangan-jangan Bambang Susatyo sendiri pun masih berada pada level hafalan memaknai Pancasila. Semoga saja bukan, sebab dia Ketua MPR di negara ini.
Lantas, apakah semua peserta Puteri Indonesia 2020 juga hafal Pancasila? Saya tidak yakin sebab hanya Kalista yang mendapat pertanyaan itu. Bahkan mungkin saja pemenang kontes itu sendiri tidak hafal Pancasila. Menurut saya, suatu kekeliruan menjadikan pertanyaan mengenai Pancasila itu sebatas hafalan.
Pancasila dan Hafalan
Kita sudah terbiasa sejak mengenyam pendidikan sekolah dasar untuk hafal pancasila, karena pada tahap itu memang lebih baik menghafalkan, masih sulit bagi kita untuk memahami apa itu Pancasila. Pengetahuan kita pun diuji masih pada level ingatan.
Kebiasaan menghafal itu terbawa-bawa hingga sekarang kita dewasa. Dan lucunya, kita masih menjadikan hafalan Pancasila sebagai pemaknaan pada nilai Pancasila.Â
Kita lebih sering bertanya (atau ditanya) hafal tidaknya akan sila Pancasila. Jika untuk urusan bercanda atau hiburan, seperti para youtuber yang membuat social experiment tentang hafal tidaknya kelima sila Pancasila, saya masih menganggap itu wajar, namun jika mengukur pengentahuan dalam sebuah kontestasi, itu terlalu merendahkan Pancasila.
Kita butuh penghayatan akan nilai-nilai Pancasila, aplikasi secara nyata kelima sila Pancasila, bukan sekedar hafal. Kita tak butuh lagi Pancasila yang berdiam dalam ingatan, kita butuh Pancasila yang nyata dalam tindakan.Â
Kenapa kita tidak mengganti pertanyaan itu dengan "Apa yang sudah kamu lakukan sebagai bukti nyata bahwa kamu menghayati dan meyakini Pancasila sebagai dasar negara kita?" Atau "Bagaimana Pancasila mempengaruhi cara kita bersikap sebagai warga negara Indonesia?" Bukankah pertanyaan itu akan lebih menantang dan tentu saja lebih menunjukkan kecerdasan ketimbang hanya menghapalkan Pancasila.
Mungkin Bambang Susatyo ingin memberikan sebuah pertanyaan kejutan bagi peserta, pertanyaan sederhana yang tak disangka akan ditanyakan oleh dewan juri. Namun sudah seharusnya menganalisa efek yang ditimbulkannya sebelum dipertanyakan.
Warga Negara yang baik, hafal Pancasila?
Saya setuju saja jika kita harus ingat kelima sila Pancasila, namun jika tuntutannya harus hafal, saya kurang sependapat. Pancasila memang harus ada dalam benak kita, dalam ingatan kita, dalam hati kita.Â
Namun tidak hanya sebatas ingatan, dan bukan ingatannya yang terutama, namun Pancasila harus nyata dalam tindakan, dalam keseharian kita, dalam cara berpikir, bekata dan bertindak kita.
Warga negara yang baik, bukan yang hafal Pancasila tapi yang menerapkannya secara nyata. Tidak cukup hanya mengingat, namun bukti nyata tindakan. Pancasila yang direfleksikan lewat tindakan bertuhan, perikemanusiaan, persatuan, jiwa kerakyatan dan penerapan prinsip keadilan.
Pancasila tak akan menjadi apa-apa jika hanya berada dalam ingatan, namun Pancasila akan menjadi nyawa jika kita terapkan dalam tindak nyata. Seberapa banyak di antara kita yang mampu menghafalkan Pancasila? Banyak. Namun seberapa banyak di antara kita yang mampu menerapkan Pancasila secara nyata? Jumlahnya pasti kalah banyak dari yang hafal.
Dalam sebuah ujian Bantara kegiatan pramuka di sekolah tempat saya bertugas, salah satu syarat kecakapan umum yang harus dikuasai oleh seorang anggota pramuka penegak adalah mampu memberikan contoh penerapan kelima sila Pancasila. Bukan mampu menyebutkan kelima silanya.Â
Namun lebih kepada apa yang dilakukan sehari-hari sebagai wujud pengamalan kelima sila Pancasila. Kita semua sudah selayaknya ingat, namun memahami Pancasila bukan tentang hafalan.
Membawa Pancasila dalam ranah hafalan terlalu merendahkan Pancasila. Sudah saatnya kita berhenti memaknai Pancasila sebagai bentuk ingatan tanpa makna, namun saatnya kita tunjukkan bukti nyata dalam tindakan bahwa Pancasila ada dan menjadi inner power seluruh warga negara Indonesia.
Pancasila harus benar-benar menjadi idenitas prilaku warga negara Indonesia, sehingga bangsa mana pun akan mudah mengenali warga negara Indonesia dari perilakunya yang Pancasila. Pancasila bukan lagi sekedar pengetahan, tapi menjadi cara hidup warga negara Indonesia.
Pahlawan yang tak hafal Pancasila
Mari berandai-andai lewat ilustrasi ini. Ada seorang yang punya keterbatasan pengetahuan, ia tak mengenyam pendidikan. Ia tak pernah disuruh menghafal Pancasila, yang ia tahu bahwa ada Pancasila, walau tak dapat menyebutkannya.
Ia hanya mengenal bahwa dalam Pancasila ada Ketuhanan, Perikemanusiaan, Persatuan, Prinsip keutamaan rakyat dan Prinsip keadilan sosial. Ia tak pernah tahu dari mana datangnya kelimanya.Â
Ia hanya tahu bahwa kelimanya ada dan ia memegangnya dalam pikirannya dan menerapkannya dalam perilakunya. Tekun beribadah, suka menolong sesamanya, menjaga hubungan baik dengan siapa saja, menghormati para pemimpinnya, serta tidak mengambil apa yang bukan haknya.
Ada seorang lagi, ia berpendidikan, memangku jabatan penting dalam pemerintahan. Ia hafal Pancasila, tahu kelima silanya. Ia beragama, namun sekedar saja, kurang tergerak untuk membantu sesama, tak peduli pada orang lain, ia semena-mena pada rakyat kecil dan ia mengambil yang bukan haknya.
Siapakah yang berjiwa Pancasila dari keduanya? Yang tidak mengerti Pancasila namun menerapkannya atau yang hafal Pancasila, tau sejarahnya namun enggan melakukannya?Â
Tentu kita lebih memilih yang menerapkannya walau tak bisa menyebutkannya. Sebab di tahap ini kita semua bisa menerima, bahwa Pancasila bukan sekedar ingatan, ini perkara perbuatan.
Untuk menjadi pahlawan kita tak butuh yang hafal Pancasila, tapi kita butuh yang dapat menerapkan Pancasila. Dengan menerapkannya kita akan mengingat bahwa seluruh aspek hidup kita dilandasi semangat Pancasila.
Pancasila Sebagai Way of Life
Mengapa sulit bagi kita untuk menerapkan Pancasila? Kebiasaan kita menjadikan Pancasila sebagai kognitif, hanya pengetahuan belaka. Kita telah belajar Pancasila dari tingkat paling rendah pendidikan kita, pendidikan dasar. Jika kita hitung dari SD hingga tamat SMA, maka kita telah mempelajari Pancasila selama minimal 12 tahun.
Seandainya seorang bayi yang baru lahir, dibesarkan dari keluarga yang berbeda budaya dengan kedua orang tuanya, 12 tahun akan menjadi masa yang cukup untuk membentuk karakternya menyerupai kebudayaan tempat dia dibesarkan.
Bagaimana Pancasila telah membentuk karakter dan budaya perilaku kita setelah 12 tahun kita mempelajarinya? Atau lihatlah ke sekitar kita, dapatkah kita melihat Pancasila benar-benar sebagai karakter warga negara Indonesia?
Kebanyakan kita mungkin tahu, hafal Pancasila, tapi kita mungkin belum berperilaku Pancasila. Pancasila masih menjadi pengetahuan, ingatan, hafalan buat kita, belum menjadi karakter yang secara alami terbentuk akibat cara hidup kita yang Pancasila.Â
Jika kita mulai menjadikan Pancasila sebagai cara hidup kita, benar-benar menjadikan Pancasila sebagai sifat alami warga negara Indonesia maka Pancasila akan benar-benar menjadi bagian kehidupan di Indonesia.
Saya Indonesia, Saya Pancasila
Negara kita adalah negara dengan dasar Pancasila. Pancasila menjadi dasar negara ini mengelola pemerintahan. Dengan kata lain, Pancasila menjadi cara hidup negara Indonesia.Â
Jika Pancasila adalah cara hidup negara Indonesia, apakah Pancasila juga adalah cara hidup rakyatnya? Apakah semua aspek dalam kehidupan rakyatnya juga didasarkan pada Pancasila?
Sudah sepantasnya kita setiap penduduk Indonesia memegang teguh Pancasila sebagai cara kita hidup. Setiap kita menjadi perwujudan Pancasila. Tidak lagi menjadikan Pancasila sebatas hafalan, hanya ada dalam ingatan. Tetapi harus ada secara nyata dalam setiap tindakan kita. Sudah sepantasnya saya, kamu, siapa pun kita menjadi Pancasila yang sesungguhnya.
Akhirnya, mari berlomba bukan untuk sekedar menghapal Pancasila, tapi berlomba menjadikannya cara hidup kita.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H