Mohon tunggu...
Sarianto Togatorop
Sarianto Togatorop Mohon Tunggu... Guru - Pengajar yang menyukai kebebasan

Seseorang yang tak tahu kalau dia ada

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bukankah Kita Telah Belajar Physical Distancing Sejak Sekolah Dasar?

28 Mei 2020   15:52 Diperbarui: 29 Mei 2020   23:12 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi foto dari nasional.tempo.co/Pisu Erlangga

Kita semua pasti pernah menjalani masa pendidikan dasar. Bahkan ada yang memulainya dari taman kanak-kanak. Masa pendidikan dasar adalah masa menanamkan kebiasaan baik karena belum pada masa itu kita belum dapat mengerti kenapa sesuatu harus dilakukan demikian. Yang kita tahu, itu yang diperintahkan guru, maka itulah yang benar.

Pada masa itu, kebiasaan yang ditanamkan di sekolah seperti menjadi yang paling benar, sehingga ketika kebiasaan itu dilanggar di rumah, kita sering protes "kata guruku tidak seperti itu". Padahal mungkin saja orang tua kita lebih paham dari pada guru kita. Tapi begitulah kita menerima kebiasaan-kebiasaan baik tertanam dalam diri kita.

Physical Distancing. Beberapa saat lalu itu terdengar baru bagi kita. Pembatasan fisik, dalam bahasa yang kita pahami, mulai sering diperdengarkan dan menjagi satu gerakan yang dianjurkan sejak pandemi Corona merebak. 

Lalu apa itu Phisical Distancing? Intinya kita menjaga jarak aman secara fisik dengan orang di sekitar kita. Juga mengurangi kontak fisik dengan orang lain yang dilakukan sebagai upaya untuk mencegah terinfeksi penyakit tertentu dari orang lain.

Sebelum Corona merebak pun kita sudah menerapkan physical distancing, terlebih ketika ada konflik dengan orang lain. Kita cenderung berupaya menjaga jarak, sebisa mungkin jangan dulu dekat-dekat atau bahkan berkomunikasi.

Sekarang, coba kita kembali sedikit lebih jauh ke masa lalu, ke masa kecil kita di sekolah dasar. Kita ternyata sudah sering menerapkan pembatasan fisik dengan orang lain. Hampir setiap hari kita melakukannya, memberi ruang kosong antara kita dengan teman.

Lencang Depan

Setiap berbaris kita pasti selalu disuruh untuk lencang depan. Perintah yang sangat umum dalam baris berbaris. Kita semua pasti tahu bagaimana melakukannya kan? Meluruskan tangan kita ke depan, memberi jarak fisik antara kita dengan teman di depan kita sejauh lengan kita. 

Kita membuat gerakan pembatasan fisik bukan. Antara kita dan teman kita punya ruang kosong, punya batas aman untuk tidak bersentuhan secara fisik.

Dulu tak ada yang protes, semua menganggap itu bisa diterima dan tepat. Padahal tidak ada bahaya yang mengancam sehingga diberlakukan pembatasan fisik. Tapi kita tetap melakukannya saat baris berbaris. Mungkin tujuannya untuk merapihkan, tapi apa pun tujuannya itu tetap bentuk pembatasan fisik.

Hal yang sama juga untuk lencang kanan dan kiri. Kita membatasi diri kita dengan orang lain sejauh lengan ke kiri atau ke kanan. Kegiatan pembatasan fisik yang sudah sering, bahkan menjadi kebiasaan kita, tanpa diperintahkan pun kita auto melakukannya saat berbaris.

Rentangkan Tangan

Lebih sering dilakukan saat senam kesegaran jasmani. Untuk memberi ruang yang lebih luas bagi kita sehingga orang lain tidak terganggu saat kita melakukan senam kesegaran jasmani. Bentuk pembatasan fisik yang sederhana.

Sama halnya dengan lencang kanan tujuannya memberi jarak. Menghindarkan kita dari bersentuhan fisik saat melakukan gerakan senam, maka kita dan orang di sekitar kita mengatur jarak sejauh kedua tangan dibuka ke samping, yang memungkinkan setiap orang mendapat ruang nyaman sejauh rentangan tangannya.

Berjarak Saat Ujian

Pembatasan fisik pun sering dilakukan saat kita ujian. Setiap peserta ujian biasanya ditempatkan pada tempat duduk yang berjarak dengan peserta lainnya. Untuk meminimalkan potensi kecurangan dan untuk memberi ruang nyaman setiap peserta dari merasa terganggu dengan peserta lainnya.

Berjarak saat ujian juga merupakan bentuk pembatasan fisik secara sederhana namun tujuannya bukan untuk menghindarkan kita dari terinfeksi suatu penyakit tertentu dari orang lain di sekitar kita. 

Tak ada bahaya yang mengancam, namun kita melakukannya suka rela. Kecuali kita hobi gelisah saat ujian, tipikal orang yang suka lirik kiri kanan waktu ujian.

Jika ketiga hal di atas telah kita lakukan sejak kita masih duduk di bangku sekolah dasar, menjadi aktifitas yang sering, hampir setiap hari kita lakukan walau tanpa ada ancaman bahaya, kita sangat mudah melakukannya. 

Di masa pandemi ini kita diminta untuk melakukan pembatasan fisik dengan orang lain, artinya hanya melakukan apa yang sudah terbiasa kita lakukan, hanya kali ini tujuannya untuk mencegah terinfeksi penyakit dari orang lain. Bukankah seharusnya ini mudah untuk kita lakukan?

Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) adalah bentuk pembatasan fisik yang dilakukan secara massal dalam skala yang luas. Artinya secara bersama-sama kita semua diminta untuk melakukan pembatasan fisik dengan orang lain. 

Berdiam diri di rumah menjadi pilihan yang tepat agar mengurangi jumlah orang yang berada di luar, sehingga batas yang bisa dibuat bisa lebih besar.

Namun faktanya di lapangan justru sulit diterapkan. Hal yang sudah biasa kita lakukan saat tak ada ancaman berbahaya justru sulit dilakukan bahkan saat ada ancaman berbahaya di sekitar kita. Apa masalahnya? Hanya keengganan menurut saya, atau kebiasaan kita yang sulit untuk menurut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun