Mohon tunggu...
Sarianto Togatorop
Sarianto Togatorop Mohon Tunggu... Guru - Pengajar yang menyukai kebebasan

Seseorang yang tak tahu kalau dia ada

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Refleksi Komunitas dari Api Unggun

27 Mei 2020   22:40 Diperbarui: 27 Mei 2020   22:35 1377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Foto dari amongguru.com/Agus Riyanto

Dalam setiap perkemahan pramuka yang kami laksanakan, hampir selalu kami menyalakan api unggun. Selain sebagai penerangan, pemberi kehangatan, juga menghindarkan binatang berbahaya mendekat. Api unggun menjadi agenda yang selalu ditunggu karena karena biasanya akan disertai kegiatan pertunjukan bakat atau sekedar bakar jagung bersama.

Dalam kesempatan lain, saat berlibur dengan membawa tenda, kami juga menyalakan perapian, sama hal nya seperti api unggun namun ukurannya lebih kecil. Biasanya perapian merangkap sebagai tungku untuk memasak.

Menyalakan api unggun bukan perkara mudah, bukan asal menyusun batang-batang kayu lalu membakarnya. Dimulai dari mendirikan satu kayu utama di tengah yang biasanya ditancapkan ke tanah, lalu kayu-kayu lain disusun mengelilingi kayu utama.

Setelah kayu-kayu tersusun, kita masih harus memperhatikan bagian bawahnya, bisanya kayu-kayu berukuran kecil dibuat mengisi ruang-ruang kecil di antaranya. Sedikit rumit dan perlu perhitungan tepat.

Gagal? Tentu kami pernah. Kami pernah mencoba menyalakan api unggun dengan menyusun batang-batang kayu sembarangan, yang penting saling tumpang tindih. Setelah dinyalakan ternyata api unggunnya hanya menyala sebentar.

Di kegagalan yang lain, kami tidak lagi menyusunnya sembarangan, kami mencoba menyusunnya lebih rapi namun kayunya terlalu padat. Api unggun pun menyala, namun hampir sama, menyala sebentar lagi padam lagi.

Di kesempatan lain lagi, kami pernah gagal, kali ini bagian bawahnya terlalu banyak ruang kosong, saat dinyalakan hanya bagian bawah yang terbakar, dan saat api unggun padam sebagian besar batang kayu masih berdiri.

Kegagalan lain lagi, pernah kami menyalakan api unggun, kami menyusun batang-batang kayu dengan lebih rapi, tidak terlalu padat, bagan bawahnya kami beri potongan-potongan kayu lebih banyak, rongga-rongga kami isi tidak terlalu padat supaya udara tetap bisa mengalir, lalu kami menyalakannya. Api unggun menyala, semua bersorak kegirangan, tampaknya kali ini akan berhasil dan satu menit kemudian, roboh dan api unggun tak jadi menyala.

Dari situ kami belajar bagaimana menyalakan api unggun dan anak-anak di regu kami mulai terampil mendirikannya. Biasanya api unggun akan menyala lama hingga menyisakan sedikit batang kayu. Sisanya akan menjadi abu.

Dari api unggun ini kita dapat banyak pembelajaran tentang bagaimana hidup dalam komunitas.  Api unggun adalah gambaran ideal tentang bagaimana setiap anggota komunitas saling berpengaruh dan menjadikan komunitas (api unggun) yang terbakar.

Kenapa komunitas kita kurang membakar, atau hanya membakar sebagian anggota? Mungkin bagaimana kita menyusun komponennya kurang baik atau masing-masing komponen kurang saling membakar.

Perlu Banyak Batang Kayu

Tidak ada yang menyalakan api unggun dengan hanya menggunakan satu batang kayu. Kita pasti akan menggunakan banyak batang kayu, semakin banyak akan semakin bagus dan nayalanya akan semakin lama. Tidak hanya batang-batang yang besar, batang-batang kecil pun dimanfaatkan menjadi kunci yang menghidupkan api.

Jangan hanya terfokus pada kayu-kayu yang besar, sebab api pada mulanya akan menyala melalui kayu-kayu yang kecil, lalu api dari kayu-kayu yang kecil akan membakar kayu-kayu yang besar. Kayu-kayu kecil akan lebih dulu menjadi abu, namun tanpa mereka kayu-kayu besar tak akan pernah mencapai abu.

Kayu paling kuat bisanya menjadi penyangga api unggun, namun jika salah menegakkannya, bisa jadi dialah yang menyebabkan api unggun roboh sebelum saling membakar. Hati-hati memperlakukan kayu utama, jika salah ia bisa jadi bencana.

Komunitas kita dibangun dengan berbagai tipe peran, yang utama, paling menonjol, yang kuat, yang terlihat lemah, dan mungkin ada yang hanya merasa sebagai pelengkap. Jangan mengabaikan satu peran pun dari mereka. Setiap peran akan membakar peran yang lain, hingga semuanya akan terbakar dalam satu kesatuan, api unggun.

Berikan Ruang Bagi Udara

Menyalakan api unggun dengan kayu yang disusun terlalu padat hanya akan membakar bagian luarnya, api tak akan menyentuh sampai ke dalam. Harus ada rongga di mana udara bisa masuk agar api tetap akan menyala. Begitu juga dalam komunitas kita, perlu rongga di mana semua merasa bisa menikmati komunitas.

Perbedaan cara menyusun kayu pun dapat memberi rongga di antara batang-batang kayu. Jika kita susun dengan semua kayu melintang tak akan terbentuk rongga di antara batang-batang kayu. Harus ada yang disusun silang, sebagian lagi berbeda dan semakin berbeda dari yang lain. Semakin banyak susunan yang berbeda, semakin banyak rongga tercipta, yang penting rongga tidak terlalu besar.

Kita tak harus selalu sama bukan? Perlu ada yang berbeda sebab itu akan menghasilkan rongga yang mengalirkan udara. Kita butuh udara untuk tetap menyalakan api dalam komunitas kita.

Perbedaan pendapat, pola pikir dan cara bertindak akan memperkaya rongga udara yang akan menghidupkan komunitas. Jangan memaksakan supaya selalu sama.

Saling Membakar

Terkadang saat menyalakan api unggun tanpa terduga nyala api bisa terlalu besar. Untung menghindari bahaya kita perlu memperkecil apinya. Kami tak menyiraminya dengan air, kami hanya mengeluarkan beberapa batang kayu dari api unggun, lalu meletakkannya secara terpisah. Cara itu juga kami lakukan untuk memadamkan api unggun jika kami tak perlu menyalakan hingga habis.

Memisahkan batang kayu yang sudah terbakar dari api unggun akan menyebabkan batang kayu yang dipisahkan lama kelamaan padam. Batang kayu yang sendirian tidak akan dapat mempertahankan nyala apinya. Ia butuh tetap dalam komunitas api unggun agar tetap menyala.

Kita tak akan dapat bertahan jika kita sendirian tanpa komunitas yang mendukung kita. Butuh beberapa batang untuk saling membakar agar api kita tetap menyala. Dan jika ingin tetap menyala, maka harus tetap berada dalam komunitas yang membakar. Kita perlu orang lain untuk membakar kita, membuat kita tetap pada semangat yang sama.

Apa pun komunitas kita saat ini: pekerjaan, kelompok minat, kelompok rohani, tim kerja, komunitas apa pun itu, kita perlu belajar dari api unggun. Tak mudah untuk membangunnya, maka perlu diperhatikan dengan seksama.

Setiap peran, besar-kecil, semuanya akan menjadi bagian yang berpengaruh, harus diberdayakan. Setiap bagian harus saling membakar, berikan ruang bagi perbedaan agar tetap ada udara bagi komunitas. Keluar dari komunitas akan membuat kita tak lagi terbakar.

ST, 27 Mei 2020

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun