Degradasi atlet di PBSI bukanlah hal yang baru. Isu ini kembali hangat setelah mundurnya Tontowi Ahmad dari PBSI dan menyatakan gantung raket. Banyak polemik seputar keputusan kontroversial ini. Namun baik Tontowi maupun PBSI tentu punya alasan masing-masing dalam mengambil keputusan.
Indonesia sebagai salah satu negara kuat dalam bulutangkis selalu menelurkan bibit-bibit pemain yang mempunyai bakat mumpuni. Tentu akan ada persaingan untuk menjadi yang terbaik.
Dan tentu PBSI hanya akan memilih yang terbaik untuk mendapat fasilitas negara yang tujuan akhirnya tentu saja untuk meraih prestasi bagi negara. Degradasi sebagai sebuah hal yang rasional, sebab seorang atlet tak akan mungkin bertahan selamanya dan akan segera digantikan oleh atlet junior.
Bahkan sebelum era Susi Susanti pun, PBSI telah melakukan degradasi bagi atletnya. Saya meyakini pada era-era itu tak hanya pemain-pemain hebat yang kita kenal dulu yang punya bakat cemerlang, masih banyak yang lain. Namun PBSI, dengan keterbatasannya, tentu akan memilih dan mempertahankan yang terbaik dengan prospek cemerlang dan sebagai gantinya akan membuang pemain bagus yang kemampuan sedikit lebih rendah.
Inilah mengapa kita hanya punya stok Susi Susanti dan Mia Audina sebagai ujung tombak tunggal puteri PBSI. Mirisnya, setelah Susi Susanti pensiun (ini pun bagian dari degradasi), Mia Audina malah meninggalkan PBSI karena pindah kewarganegaraan, meski pun ia mengajukan permohonan untuk tetap bermain bagi Indonesia. Ya, PBSI tentu mendegradasinya, walau PBSI tahu belum ada penerus yang mampu selevel dengan mereka.
Tahun 2018, PBSI mulai menerapkan aturan Promosi dan Degradasi bagi penghuni pelatnas sebagai bentuk efisiensi dan motivasi para atlet untuk mengejar prestasi.
Atlet tidak boleh nyaman menikmati fasilitas namun minim prestasi. Yang berprestasi akan tetap bertahan, namun yang mengalami penurunan prestasi akan ditinjau untuk dikembalikan ke klub asalnya atau mendapat status magang (percobaan). Potensi, sikap, kemauan dan peningkatan atlet menjadi tolok ukur.
Apa yang menarik di sini adalah, penerapan prinsip tanpa pengecualian. Nama-nama besar yang telah meraih juara di berbagai turnamen pun tidak ada jaminan lolos begitu saja. Semua akan bersaing untuk tetap layak mengisi daftar pemain yang dipertahankan. Tak heran banyak nama-nama pemain yang kita kenal memiliki kemampuan bagus, namun terdegradasi karena tak kunjung berprestasi.
Mundurnya Tontowi Ahmad memang mengejutkan. Peraih medali emas Olimpiade 2016 memutuskan gantung raket di usia yang masih bisa berprestasi.
Alsan status magang yang diberikan kepadanya disebut-sebut sebagai salah satu pemicu ia mengambil keputusan pensiun dini. Status magang diberikan kepada Tontowi mengingat duetnya dengan Winny Oktavina Kandow yang belum mampu mencapai prestasi mumpuni.
Pasangan ini memang mampu mencapai peringkat 16 BWF, namun tak berhasil lolos kualifikasi Olimpiade 2020. Winny kembali bertandem dengan pasangan sebelumnya Akbar Bintang Cahyono dan Tontowi akan berduet dengan Apriani Rahayu. Apriani sendiri sedang fokus di ganda puteri bersama Greysia Polii untuk persiapan Olimpiade. Praktis Tontowi tak punya tandem dan minim prestasi.
Namun satu pertanyaan muncul di benak saya, “Jika alasan pemberian status magang, kenapa Tontowi memutuskan untuk gantung raket, bukankah dia masih bisa berprestasi di luar PBSI?”.
Vita Marissa dulunya mundur dari PBSI dan memutuskan menjadi atlet profesional, namun berhasil menjuarai beberapa kejuaran internasional dengan status pemain profesional. Hendra setiawan juga mengambil langkah yang sama. Tontowi tak perlu takut tak memiliki tandem. Untuk pemin sekelas Tontowi saya rasa banyak yang ingin menjadi duetnya.
Beberapa mantan pemain PBSI pun ramai merespon pengunduran diri Tontowi. Diantaranya Sonny Dwi Kuncoro dan Ricky Karanda Suwardi lewat instagram mereka menyebutkan degradasi di PBSi kurang menghargai atlet.
Keputusan degradasi tentu tidak mudah diterima atlet, apalagi bagi mereka yang sudah berprestasi. PBSI menjawab bahwa degradasi berjalan sesuai aturan dan tetap ada komunikasi antara pengurus, pelatih dan atlit.
Inilah salah satu efek negatif sistem degradasi PBSI. Pemain yang sudah berprestasi pun tidak luput dari pemantauan. Juara olimpiade sekali pun tidak ada jaminan akan tetap bertahan di PBSI. Satu-satunya senjata eksistensi adalah prestasi. Jika ingin bertahan, maka tunjukkan prestasi. Nama besar bukan berarti jaminan, tapi mungkin bisa jadi pertimbangan.
Mari berandai-andai tidak ada sistem degradasi di PBSI. Apa kemungkinan yang akan terjadi? Pertama, stok pemain akan diisi nama-nama yang itu-itu saja. Pemain senior akan mengisi daftar pemain yang akan mengikuti turnamen.
Tidak ada persaingan. Pemain junior sulit untuk berkesempatan untuk mendapatkan peluang. Pemain senior akan merasa nyaman sebab tempat mereka tidak akan tergantikan. Pemain yang telah berprestasi akan merasa puas, posisi mereka tidak akan terancam. Mengapa PBSI mengambil langkah ini? Saya yakin PBSI telah melihat gejala ini di kalangan atlet.
Kedua, tidak ada efisiensi dana. Atlet yang diberangkatkan mengikuti turnamen bisa kurang termotivasi untuk berprestasi. Posisi mereka yang sudah tak tergantikan, prestasi bukan lagi alat bertahan. Untuk mengikuti turnamen, PBSI tentu mengeluarkan biaya yang tak sedikit, namun besarnya biaya itu akan terbayar jika gelar yang dibawa pulang juga sesuai harapan.
Ketiga, tidak ada persaingan. Tanpa degradasi, tak akan ada persaingan. Untuk melahirkan yang terbaik, harus ada persaingan yang sehat.
Persaingan akan membuat setiap atlet terus berlomba untuk maju, meningkatkan kemampuan dan meraih prestasi untuk tetap bertahan. Ini memang memiliki dampak negatif, atlet bisa tertekan oleh persaingan yang sengit. Namun, bukankah itu adalah kompetisi itu sendiri. Alam akan memilih siapa yang terbaik.
Degradasi memang memiliki dua sisi. Tapi ini menimbulkan kompetisi. Semakin ketat kompetisi, akan semakin besar usaha atlet untuk memenangkan kompetisi. Dan juara sejati lahir dari kompetisi. Nama-nama besar yang terdegradasi pun akan segera diisi oleh pemain lain yang tentu telah melewati kompetisi ini.
Pilihan menerapkan sistem degradasi oleh PBSI adalah bukti bahwa PBSI tidak main-main. PBSI berharap atlet penghuni pelatnas adalah yang benar-benar siap berprestasi, tidak takut berkompetisi. Atlit harus mampu mengubah cara memandang sistem degradasi. Ini kesempatan, bukan ancaman. Kita tunggu kabar prestasi dari atlet-atlet PBSI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H