Mohon tunggu...
Maya Puspitasari
Maya Puspitasari Mohon Tunggu... Guru - SMPN 3 Pante Bidari

Seorang guru penggerak yang terus tergerak, bergerak, dan menggerakkan demi mencerdaskan anak bangsa.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Butuh 3M Wujudkan Budaya Positif

18 Februari 2023   23:03 Diperbarui: 18 Februari 2023   23:09 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menelisik kata budaya sangat erat kaitannya dengan sebuah kebiasaan yang telah diyakini oleh sebuah komunitas atau masyarakat. Di dalam Wikipedia kata budaya dimaknakan sebagai cara hidup yang berkembang dan dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi namun tidak turun temurun, seperti hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. 

Sedangkan kata positif bermakna pasti, tegas, yakin, tentu, bersifat nyata dan membangun. Sesuatu tindakan, perbuatan, pikiran, dan perkataan yang diyakini benar serta sesuai dengan pedoman hidup seseorang dikategorikan positif. 

Budaya positif merupakan wujud dari nilai-nilai atau keyakinan secara umum diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Suatu tindakan yang telah membudaya tentunya tidak muncul begitu saja tanpa adanya pembiasaan-pembiasaan mulai dari diri, mulai dari hal kecil, dan mulai sekarang. 

Dalam konteks pendidikan, untuk menerapkan budaya positif tentunya sang guru memulai dari dirinya lebih dulu, dengan memberikan contoh teladan yang baik bagi peserta didiknya. Seperti filosofi Ki Hajar Dewantara yaitu "Ing Ngarso Sung Tulodo", apabila berada di depan dapat memberi contoh teladan yang baik. Misal, guru datang lebih awal di pagi hari, menyapa peserta didik, menanyakan keadaannya, menunjukkan perhatian-perhatian kecil sebagai wujud kasih sayang orang tua dan anak di sekolah. 

Kendatipun pada situasi nyata bahwa masih banyak peserta didik yang terlambat ke sekolah, bersikap tidak sopan, berkata tidak santun, kurang hormat dengan guru, janganlah guru menjuluki ia anak yang bandel, nakal, keras kepala tidak bisa diatur, dengan serta merta guru memberi hukuman dan mendiskreditkannya. Bila hal itu yang dilakukan, maka sangat bertentangan dengan fungsi sekolah itu sendiri. Di mana lagi peserta didik memperoleh contoh yang baik, jika di sekolah tempat mengenyam pendidikan pun tidak berpihak padanya.

Lantas, bagaimana menyikapi permasalahan tersebut agar nilai-nilai kebaikan yang telah diyakini dapat diserap oleh peserta didik? Dalam segala situasi guru harus dapat mengontrol amarahnya, bisa dilakukan dengan tarik nafas dalam-dalam dan hembuskan perlahan, lakukan hingga 3 (tiga) kali untuk menetralisir adrenalin. Jika sudah tenang, atasi masalah tersebut dengan restitusi, posisi kontrol yang baik, perhatikan kebutuhan dasar yang belum terpenuhi. 

Dalam dunia pendidikan restitusi merupakan proses menciptakan kondisi bagi peserta didik untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004). Dengan kata lain, restitusi adalah sebuah upaya yang dilakukan guru untuk menumbuhkan kesadaran diri peserta didik tentang nilai-nilai kebajikan yang telah diyakininya tanpa unsur paksaan, tetapi sebagai bentuk penghargaan pada diri sendiri.

Restitusi ini dapat dilakukan dengan menanyakan keyakinan terkait nilai-nilai apa yang diyakini, lalu menstabilkan identitas dengan mengatakan bahwa setiap orang pernah melakukan kesalahan, dan memvalidasi kebutuhan dengan menyatakan bentuk alasan dibalik permasalahan tersebut. Tiga langkah ini dikenal dengan segitiga restitusi.

Berbicara mengenai posisi kontrol, terdapat lima posisi kontrol dalam menyikapi problematika kehidupan secara luas. Untuk melihat posisi kontrol tersebut berikut contohnya: saat menemui peserta didik yang bermasalah, apakah suka menghardik, mengancam, bahkan menghakimi orang lain? Jika iya, maka posisi kontrolnya adalah sebagai penghukum. Atau malah menceramahi panjang kali lebar, seharusnya begini, semestinya begitu, maka posisi kontrolnya adalah pembuat orang merasa bersalah. 

Posisi kontrol berikutnya adalah sebagai teman, dengan mengatakan ayolah berubah demi saya. Sebagai pemantau, dengan ciri-ciri suka menghitung dan mengukur kesalahan, sering berkata apa peraturannya?. Posisi terakhir adalh sebagai manajer, dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan memberdayakan, seperti hal apa yang diyakini? Apa yang bisa dilakukan untuk memperbaiki masalah ini? Ini lah sebaik-baik posisi kontrol.

Pada dasarnya orang-orang melakukan perbuatan yang mencolok dan mencuri perhatian  adalah karena ada kebutuhan-kebutuhan yang belum terpenuhi. Menurut William Glasser, kebutuhan-kebutuhan tersebut diantaranya adalah kebutuhan bertahan hidup (survival), kasih sayang dan rasa diterima (love and belonging), kebebasan (freedom), kesenangan (fun) , dan penguasaan (power). Ketika semuanya dapat terpenuhi maka kebahagiaan dan keselamatan akan diperolehnya dalam hidup dan kehidupan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun