Pada setiap pembelajaran guru sering kali menstimulus peserta didik dengan sebuah pertanyaan sederhana. Tujuannya adalah untuk mengantarkan pemahaman peserta didik menuju target pembelajaran. Dalam proses tersebut guru mengharapkan respon atau jawaban dari peserta didik secara spontan atau secara langsung tanpa ditunjuk. Respon itu muncul secara alamiah karena kebutuhan atau kebiasaan peserta didik sendiri.
Namun, yang terjadi adalah guru terpaksa menunggu lama munculnya inisiatif dari peserta didik, bahkan kerap kali hening tanpa respon apapun. Dengan sangat terpaksa guru menunjuk seorang peserta didik yang memang sudah langganan di kelas tersebut, lumayan aktif ketika disuruh.Â
Begitu pula jika diminta maju ke depan kelas untuk menuliskan, menyampaikan jawaban atau pendapatnya, harus ditunjuk oleh guru. Hakikatnya, keadaan ini adalah sebuah permasalahan yang patut dikupas tuntas, mengapa hal ini terjadi?
Pertama, mengapa anak harus ditunjuk dulu baru mau merespon atau bahkan lebih kronis, tidak mau merespon sama sekali padahal guru tahu ia mampu? Kedua, bagaimana memunculkan inisiatif peserta didik untuk menjawab secara langsung ketika guru bertanya?
Menyinggung soal yang pertama sangat erat kaitannya dengan pola asuh orang tua di rumah. Pembiasaan-pembiasaan yan dilakukan, kemudian nasihat atau motivasi yang membangun dari kedua orang tua juga berpengaruh. Pola asuh yang baik akan membuat peserta didik memiliki kepribadian yang baik, pandai mengatur, dan memutuskan suatu tindakan.Â
Seperti penggalan puisi karya Dorothy Law Nolte, yang berjudul Children Learn What They Live (Anak Belajar dari Kehidupan). Dalam puisi itu dikatakan, jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki. Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi. Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri. Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri.
Berkaca pada pola asuh yang seperti itu, maka akan diperolah anak yang penakut, selalu minta ditemani ketika mau ke suatu tempat, cenderung menggantungkan kepercayaan dan kemampuan dirinya pada  pada pendapat orang lain.Â
Anak yang selalu disalahkan akan menarik diri dari lingkungan sosial, tidak mau mencoba hal-hal baru, menjadi pendiam bahkan tidak membela diri saat dianggap salah oleh orang lain. Kurang percaya diri dan tidak merasa mencintai diri sendiri akibat tekanan yang diberikan orang sekitar sehingga untuk mengambil sebuah keputusan pun ia sulit.
Lalu bagaimana memulihkan dampak tersebut? Lanjutan puisi Dorothy ini dapat dijadikan contoh, Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri. Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri. Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai. Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, ia belajar keadilan. Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan. Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya. Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.
Pada dasarnya tidak ada yang benar-benar dapat dipulihkan, hanya meminimalisir efek yang dirasa dengan aktivitas-aktivitas positif dan bermanfaat. Melalui kegiatan pembelajaran di kelas guru dapat menumbuhkan sikap kepemimpinan peserta didik dengan menggunakan strategi dan media belajar yang beragam.
Guru dapat memulai dengan pembiasaan nilai-nilai positif yang diyakini, seperti memimpin do'a belajar di depan kelas, menjadi ketua kelompok, ketua kelas, imam shalat, pemimpin atau komandan upacara, dan sebagainya. Setelah itu guru harus royal dalam memberi apresiasi dan umpan balik yang memberdayakan terkait kemajuan belajar peserta didik.
Guru dapat memfasilitasi pembelajaran aktif dengan metode diskusi atau tanya jawab untuk melatih daya tanggap peserta didik dalam merespon secara langsung. Pembiasaan ini dapat menjadikan peserta didik mampu melihat nilai positif yang dimiliki serta yakin dengan kompetensi dirinya. Secara mandiri ia akan dapat memutuskan sebuah tindakan dengan menggunakan cakrawala berpikirnya sendiri, bukan karena orang lain.
Guru sebagai motivator harus menyampaikan pentingnya memiliki jiwa kepemimpinan. Sebagaimana sabda nabi Muhammad Saw., yang artinya, "Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang dipimpinnya." Bahwasanya semua manusia di muka bumi ini hakikatnya adalah pemimpin, yang memimpin diri sendiri untuk melangkah, mau belajar, mau mengaji, menjadi mukmin yang ta'at atau sebaliknya.Â
Semua tindakan tersebut akan dipertanggungjawabkan kelak di yaumil hisab. Orang lain hanya mampu mengingatkan dan menasihati, akan tetapi semua keputusan kembali pada pribadi masing-masing.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jiwa kepemimpinan perlu dilatih sedini mungkin agar tercipta generasi penerus yang mandiri, mampu mengambil keputusan dengan tepat, bijaksana, yakin dan percaya pada kemampuan diri. Jika bukan diri ini yang menghargai diri sendiri, siapa lagi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H