Dapat diidentifikasikan bahwa anjuran untuk bertanggung jawab terhadap hal-hal yang dikatakan guru pada saat proses pembelajaran serta dapat dibuktikan dengan aksi nyata pada karateristik guru di kehidupan sehari-hari. Hal ini juga terdapat dalam filosofi bapak pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara, "ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani". Ketika guru berada di hadapan peserta didik, segala tindak tanduknya dapat diteladani, tatkala berada di tengah-tengah peserta didik dapat memberi motivasi dan dukungan, juga pada saat di belakang mampu mendorong peserta didiknya untuk maju dan bertumbuh sesuai potensi dan kodratnya.
Dari Usamah bin Zayd, aku mendengar Nabi Muhammad saw., berkata:Â
"Seseorang akan dibangkitkan di hari akhir kemudian dilempar ke api neraka sampai ususnya terlepas dan berputar-putar seperti keledai mengelilingi alat penumbuk gandum. Penghuni neraka berkumpul dan bertanya: 'Hai fulan! Apa yang menimpamu, bukankah dulu kau sangat giat menyuruh berbuat baik dan menghindari berbuat celaka?' Ia menjawab: 'Ya, betul, dulu saya menyuruh berbuat baik tapi saya sendiri enggan mengerjakannya dan saya juga mengharamkan kefasikan akan tetapi saya pribadi mengerjakannya". (HR. Muslim).
 Ungkapan hadist tersebut dapat diidentifikasi bahwa perilaku munafik sangat dibenci oleh Allah swt. Untuk itu harus dihindari oleh siapapun dengan profesi apapun, konon lagi pada posisi pemimpin, sangat tidak dianjurkan. Sudah seharusnya pemimpin pembelajaran memiliki integritas diri yang tinggi dalam melaksanakan segala aktivitas baik dalam lingkup sebagai seorang pendidik ataupun seorang masyarakat.
Dalam membersamai peserta didik selama di ruang kelas dan di lingkungan sekolah dengan berbagai macam tingkah polah, semestinya pendidik atau guru dapat mengontrol diri, sosial-emosional, dalam bereaksi. Apakah itu marah, maka marahlah dengan elegan agar tidak berdampak negatif bagi diri guru maupun peserta didik. Yang tidak disukai adalah sikap si anak didik, maka nasehati dengan sabar dan lemah lembut, bukan malah membenci individunya. Sebagaimana dalam hadist: Menceritakan kepada kami Anas ra., katanya:Â
"Aku jadi pelayan Nabi saw., selama 10 (sepuluh) tahun. Tidak pernah sama sekali beliau berkata "ah", kenapa kau lakukan? Dan mengapa tidak kau mengerjakannya?" (HR. al-Bukhari).Â
Dapat disimpulkan bahwa dalam keseharian Nabi Muhammad saw. pun tidak pernah mengatakan "ah" apalagi menghardik, maka sudah sepatutnya seorang pendidik atau guru menyikapi persoalan peserta didiknya dengan sabar dan bertutur kata lembut.
Pada hakikatnya nasehat menasehati merupakan bentuk kasih sayang yang Allah titipkan dalam diri manusia, agar sesama muslim terpupuk ukhuwah islamiah yang erat. Begitupun dalam menyampaikan pembelajaran guru bersama peserta didik layaknya ibu/bapak dengan anak-anaknya, harus terjalin keakraban dan kekeluargaan agar tercurah perhatian dan kasih sayang secara natural.Â
Harapannya proses pembelajaran dapat mendatangkan kemudahan bagi peserta didik dalam memahami, mengingat, mengaplikasi, menganalisis, mengevaluasi, dan mengkreasikan ilmu pengetahuan yang diperolehnya dalam kehidupannya kelak di tengah masyarakat. Bukankah Nabi selalu berpesan pada para sahabat untuk mempermudah, bukan mempersulit, segala urusan ketika mereka diutus untuk suatu tugas, sebagaimana hadist Dari Abi Musa, katanya:Â
"Bila Rasul saw., mengangkat seorang kerabatnya untuk melakukan sutu urusan, beliau berkata: "Informasikanlah berita bahagia dan jangan memberi ancaman, permudah urusan mereka tidak mempersulit". (HR. Muslim)
Layaknya proses penciptaan manusia secara runtut yang terdapat dalam Q.S. Al-Mu'minun: 12-14, yang dapat disimpulkan bawasanya Allah swt., telah menciptakan manusia dari segumpal tanah, lalu dari air mani dijadikan segumpal darah, dari darah berproses menjadi segumpal daging, kemudian diberi tulang dan dibungkus dengan daging, sehingga berbentuk. Maka begitu pula proses pembelajaran diisyaratkan untuk disampaikan seorang pendidik atau guru bersama peserta didiknya. Sampaikanlah pembelajaran secara runut dan bertahap, dari yang mudah dipahami ke tingkat tersulit menurut pandangan manusia agar proses pembelajaran menjadi bermakna, melekat kuat di dalam diri peserta didik. Sebagaimana hadist yang menceritakan bahwa Nabi saw., mengajar dan menyampaikan ilmu secara bertahap.Â