Menjadi pekerja atau pegawai adalah mayoritas profesi keluarga generasi di atas saya. Rasanya hampir tidak ada uwa atau om yang menjadi pengusaha. Jiwa kewirausahaan memang bukan strong poin di keluarga saya.
Lambat laun, semakin tumbuh pemahaman saya akan usaha dari rumah dan berdikari sebagai perempuan dengan anak. Seiring itu, semakin terbuka juga rasa penasaran mengenai dunia kerja selain di kantor.Â
Ingin tetap sibuk, dapat cuan, dan mengurus anak di rumah adalah salah satu alasan saya kemudian bekerja freelance dan jualan kecil-kecilan. Saya tahu semua belum ideal seperti impian, tetapi nyatanya hal itu membuat saya semangat untuk beraktivitas setiap harinya.
Bekerja bukan kantoran, tidak serta merta membuat saya bekerja sendirian. Umumnya, saya bisa bekerja dalam pasangan atau grup inti kecil. Akan tetapi, klien atau orang di mana saya terlibat kerja bisa ribuan.
Tentunya ketika bekerja bersama dalam tim, saya tidak selalu jadi leader-nya. Saya pernah berada di situasi jadi anggota tim biasa yang harus ikuti arahan dan memberi masukkan. Pengalaman bekerja secara remote ini justru memperkaya pengalaman dan jaringan pertemanan. Saya pun cenderung tidak mudah bosan karena fleksibilitas pindah dari satu projek ke yang lain.
Akan tetapi, namanya bekerja bersama tentu tidak selalu mulus. Kalau suka, bagi saya tentunya mudah. Ketika ada duka ini yang bisa jadi persoalan dan berujung pada hasil projek yang kurang memuaskan.Â
Bicara yang siapa yang salah, mau tidak mau seorang leader harus pegang tanggung jawab penuh. Meskipun bawahan yang salah, leader adalah garda depan yang membereskan semuanya. Bisa jadi, dia yang harus minta maaf pada klien, memperbaiki kesalahan, hingga mendapat omelan dan protes terkait kinerja.
Jujur, karena semua posisi pernah saya rasakan, tulisan kali ini justru seakan berkaca dan jadi bahan renungan pribadi. Â Beberapa perilaku leader yang bisa membuat bawahan tidak lagi semangat bekerja.
- Memberi arahan yang kurang jelas. Sebuah teori dari motivator bisnis yang saya ikuti mengatakan bahwa jika bawahan salah bisa jadi dia tidak mengerti arahannya. Mengapa tidak mengerti? Kemungkinan besar, hal itu disebabkan karena arahan leader-nya kurang jelas.
- Plin-plan dalam mengambil keputusan. Jikalau leader saja ragu dengan keputusannya, apalagi bawahan. Mereka akan ragu bergerak jika keputusan leader mudah berubah.
- Tipikal One Man Show. Kegunaan tim adalah untuk mempermudah kerja. Bekerja sendiri ada limitnya. Sulit sebuah usaha berkembang jika bekerja sendirian. Mulailah percaya dan memberi arahan jelas apa yang diinginkan sebenarnya.
- Tidak ada aturan reward dan punishment yang jelas. Sudah barang tentu penerapan aturan harus ditegakkan. Kalau menunggu ada protes baru dilakukan evaluasi, leader akan kehilangan wibawa di mata timnya. Apalagi kalau leader tak kunjung memberikan sangsi yang jelas kepada yang bersalah. Di satu pihak, yang bersalah tidak jera dan anggota lain akan hilang hormatnya.
- Mampu menempatkan diri. Ada kalanya, seorang leader harus bertindak sebagai pemimpin jika terkait pengambilan kebijakan. Akan tetapi, bukan berarti dia harus kaku dalam hubungan pertemanan atau sosial. Itulah mengapa biasanya diadakan sebuah acara "gathering tim" karena bisa berguna mengembalikan semangat tim dan leader berkolaborasi.
Memang terlihat mudah untuk menuliskan poinnya. Namun, saya pun masih harus belajar dan membiasakan diri legowo dengan kekurangan yang masih harus ditambal di sana sini.Â
Apalagi, saya yang termasuk perfeksionis. Hal ini biasanya membuat saya merasa bisa lakukan semua sendiri, padahal nyatanya tidak.Â
Semoga saja, instrospeksi kali ini bisa membantu saya ingat untuk mulai menggerakkan tim lebih aktif lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H