Konon, mata pelajaran yang paling disegani, aka. ditakuti, adalah Matematika. Namun, saya, salah satu dari sekian banyak anak lulusan SMA yang pada tahun 2000, malah mendekatinya. Terus terang, saya tidak punya bayangan bahwa Matematika saat kuliah itu beda banget dengan saat sekolah. Naifnya saya, sangkaan Matematika sama di mana pun tempat belajarnya, itu salah.
Matematika saat kuliah ada yang sifatnya ilmu murni dan terapan. Untuk saya yang segala hal harus penuh aplikasi dan nalar, memang cocok di terapannya. Karena itu saya memilih tugas akhir membahas Statistik. Jangan ditanya sekarang persisnya apa, terus terang saya sudah lupa.Â
Aplikasi ilmu yang saya miliki sekarang memang tidak sejalan di dunia kerja. Namun, kecintaan saya pada Matematika saya wujudkan dengan mengajar dan membersamai anak di setiap tugas Matematikanya sendiri. Saya masih cukup percaya diri membantu soal anak yang sekarang masih di tingkat sekolah dasar dan SMP.Â
Berbekal membersamai anak, terutama semasa pandemi, saya mendapati literasi Matematika anak-anak saya masih sangat rendah. Literasi Matematika ini erat kaitannya dengan mengamalkan soal cerita yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Soal cerita biasanya butuh beberapa tahapan hitungan sebelum sampai di akhir jawaban. Ada beberapa kendala menuju ke sana. Salah satunya, mereka tak paham soalnya.
Apakah anak Anda pun mengalami hal serupa?
Kesulitan anak memahami kalimat Matematika akan jadi kendala dalam menyelesaikan soal. Matematika tak melulu hitungan, tetapi proses pun diperhitungkan. Ketidakmampuan menalar kejadian Matematika inilah yang akan jadi kendala dia dalam belajar, ujian, dan aplikasi dalam kehidupannya sehari-hari.
Lalu apa solusi yang bisa dilakukan para orang tua dengan masalah tersebut?
- Menerima kekurangan anak. Dengan bisa legowo tahu masalahnya, orang tua akan bisa pilihkan solusi yang bijaksana.
- Perlu pendekatan yang lebih membumi pada beberapa anak. Beberapa hal terkait aplikasi Matematika di kehidupan nyata perlu diajarkan kepada mereka, misalnya saja memberikan kesempatan jajan di warung dengan membawa uang dan menghitung kembalian sendiri.Â
- Saya masih menerapkan konsep menghitung harus runut. Mereka harus selalu menuliskan apa yang diketahui, ditanyakan, lalu menjawab soal. Namun demikian, kurangnya kebiasaan menulis akibat terlalu lama bergadget itu pun kadang menyulitkan. Anak tidak terbiasa kembali menulis di kertas, entah bisa malas atau hanya kaku saja.
- Melatihnya secara rutin. Ini masih jadi pekerjaan rumah juga untuk rutin memberikan soal pada mereka. Dengan terbiasa berlatih, harapannya mereka terbiasa dengan soal Matematika sejenis. Saya biasanya mengandalkan buku latihan soal dari penerbit mata pelajaran popular.Â
- Mencarikan tutor pendamping belajar. Ada kalanya orang tua sibuk atau kurang sabar dalam mengajar anak. Kalau sudah ada marah, biasanya anak sulit menerima pelajaran karena kurang enjoy. Itulah mengapa perlu orang luar yang bisa membersamainya dengan intensif.
- Meningkatkan kemampuan literasi membacanya juga. Sebab, kemampuan logika Matematika itu sejalan dengan logika Bahasa.Â
Orang yang cerdas mampu seimbang antara literasi baca tulis dan berhitungnya.
Mungkin semua akan tampak sulit di awal. Namun, tidak mungkin juga selaku orang tua kita hanya diam saja. Beberapa agenda pelatihan Matematika ada yang diperuntukkan bagi guru dan orang tua. Saat pandemi ini, semua kegiatan tersebut  digelar secara daring rutin. Kita hanya tinggal mau mencarinya di internet.Â
Pada peringatan Hari Matematika Sedunia 2022, 14 Maret 2022 ini, semoga menjadi momen menyadarkan para orang tua betapa pentingnya literasi Matematika. Bukan semata hanya karena nilai raport, melainkan Matematika adalah ilmu dasar kehidupan yang dibangun dari logika.Â