Mohon tunggu...
Sari Agustia
Sari Agustia Mohon Tunggu... Penulis - IRT, Penulis lepas

Tia, pangillan akrabnya, menekuni menulis sejak tahun 2013 sampai sekarang. Sebuah karyanya, novel Love Fate, terbit di Elex Media Komputindo pada tahun 2014. Saat ini aktif menulis bersama beberapa komunitas dan Indscript Creative

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kesetaraan Gender yang Omong Kosong

8 Maret 2022   23:33 Diperbarui: 8 Maret 2022   23:35 669
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suatu percakapan di grup WhatsApp alumni sebuah kampus yang multi gender, seorang pria merasa percaya diri melontarkan stiker-stiker dengan ada kata "janda", "koleksi istri", dan sejenisnya. Beberapa pria lain menanggapi dengan ketawa, lebih banyak yang diam saja. 

Sudah kodratnya, kaum adam punya gagasan sex yang lebih liar dari perempuan. Jika berada di kawanannya, tidak bisa dilarang, mata dan mulut bisa beda bunyinya. 

Namun, para perempuannya pun bisa tutup mata. Tidak perlu juga tahu yang penting kondisi rumah tangga aman. Lain halnya jika bahasan itu muncul di komunitas atau grup, terutamanya daring, yang multi gender. 

Respect, toleransi, dan peluang adalah hal yang wajib diberikan bagi siapa pun tanpa pandang gendernya. 

Bergaul dalam komunitas majemuk, terutama yang sifatnya daring, para perempuan tidak pernah minta diistimewakan. Mereka sama-sama punya akal, rasa, dan hati yang kemudian bergabung dengan dasar/alasan yang sama dengan para lelaki yang ada di sana. 

Ketika bergaul, posisikanlah para perempuan tadi terhormat tanpa harus membawa status perkawinan, pendidikan, atau profesi sebagai lelucon. Hendaklah semua bijak membawa bahan candaan yang netral dan memang patut ditertawakan bersama. 

Kalau dulu orang bicara hati-hati bergaul jangan membawa unsur SARA, maka sudah selayaknya juga di grup multi gender itu jangan ada bahasan urusan dada dan paha. 

Ilustrasi pribadi
Ilustrasi pribadi

Ibu Budi sedang mencuci baju. Ayah Budi membaca koran.

Mungkin dulu saya tidak cukup kritis dengan model doktrin patriarki semacam ini. Saya tidak sadar bahwa ada penempatan posisi Ayah Budi yang lebih tinggi dari Ibu Budi di rumah. Bagaimana mungkin, tinggal di rumah yang sama lalu hanya Ibu mencuci baju dan Ayah hanya diam saja tidak ambil peran di rumah. 

Oke, kalau dikatakan ayah sudah bekerja. Ibu juga sudah di rumah masak, misalnya. Kenapa tidak, si ayah sedang santai membaca koran disandingkan dengan ibu yang sedang nonton televisi?

Nyatanya, doktrin ini memang melekat. Bedanya di era digital, Ayah baca koran digital di ponselnya. Sedangkan Ibu? Dia masih sama mencuci baju di mesin cuci, setrika, cuci piring, memandikan anak, sampai menyuapinya. Lalu, Ayah ngapain? Apakah sudah cukup menghasilkan uang dari bekerja kemudian ongkang kaki di rumah?

Seorang suami duduk santai di sofa sibuk dengan ponselnya, sedangkan si istri mondar mandir mengurus rumah dan anak. Entah pemahamannya begitu sempit akan sebuah kerja sama atau memang naif menganggap istrinya bangga jadi super woman?

Seorang lelaki tidak paham bagaimana pentingnya menghargai perasaan wanita karena tidak pernah melihat sosok ayah yang bisa contohkan teladan baginya memuliakan perempuan di rumahnya.

Di era yang katanya setara, suami istri seharusnya jadi mitra. Keduanya sama-sama berbagi peran, terutama pengasuhan anaknya. Sebut si istri memang tidak bekerja. Boleh lah, misal dia kerjakan urusan domestiknya sendiri. Namun, apa dia juga yang harus berkutat dengan pekerjaan rumah anak di malam hari? Sedangkan jam kerja kantor saja ada batasnya. 

Hal gamang ini memang paling rentan terjadi pada ibu rumah tangga. Secara finansial memang dia tidak menghasilkan rupiah. Berada di rumah baginya seperti jam kantor penuh yang terus berputar tanpa ada jam selesainya. Para istri itu layak robot yang bergerak dari satu urusan ke urusan lain meski hanya di satu tempat. Luar biasanya, memang itu yang terjadi! Beragam hal akan ada di rumah. Dan suami seringnya tidak peka. Lebih naasnya, suami lebih pekanya sama ponsel dan teman dunia mayanya.

Percayalah, jika itu terjadi maka tidak ada setara dalam rumah tangga. Cepat atau lambat, keadaan itu hanya tunggu meledak karena lelah mendidih badan, hati, dan pikirannya. Terutama jika si istri pun cakap dan cukup secara pendidikannya. Dia bukan dinikahi jadi pembantu di rumah, melainkan partner untuk mendidik anak dan menceriakan rumah. 

Hari ini tepat tanggal 8 Maret 2022 diperingati sebagai Hari Perempuan Sedunia. Tema yang diangkat kali ini adalah mengenai kesetaraan gender demi keberlanjutan hari esok, "Gender equality today for a sustainable tomorrow". 

Tema ini mengingatkan saya bahwa setara itu memang tidak harus sama. Sudah digariskan Allah swt memang berbeda adanya. Namun, jika dibantu kesadaran para pria dan suami di luar sana maka setidaknya setarakan dulu lahir batin wanita-wanita di dekat mereka. Beri para perempuan ruang untuk sehat jasmani dan rohaninya dengan jalan yang mereka sukai supaya mereka bisa jalankan fungsinya dengan bahagia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun