Saya sebenarnya bukan termasuk orang yang suka kepo sama iklan yang seliweran di YouTube. Kalau bisa skip akan saya lakukan. Bukan jahat, memang kalau sudah asyik kayanya iklan bisa jadi gangguan.Â
Namun, suatu ketika ada iklan yang menarik perhatian saya. Iklan dibuka dengan seorang pemuda pemudi ceritanya mau beli laptop dan sudah berada di kedai. Ketika akan membayar, tabungan si pemuda kurang. Akhirnya, si pemudi yang turun tangan.Â
Si penjual jadi nyinyir dong, meragukan kredibilitas si pemuda. Tanpa diduga sesaat mau membayar, tiba-tiba si pemuda memperlihatkan kalau saldonya nambah jadi berkali-kali lipat. Kontan itu menarik perhatian si penjual kenapa uang si pemuda jadi banyak.
Saya sudah bisa menebak akhirnya adalah iklan pinjaman online, dan tebakan saya memang benar.Â
Bagaimana dikisahkan dan diyakinkan bahwa meminjam uang adalah solusi untuk segala masalahnya dan mudah sekali dapatnya.Â
Memang si pemberi jasa meyakinkan dia legal, aman, dan terdaftar di OJK. Namun, bukan itu yang jadi perhatian yang bikin miris hati saya.
Seorang teman, berprofesi sebagai financial planner pernah mengatakan, "Tidaklah orang dikatakan kaya jika dia berutang."Â
Tentunya ini bukan kaitannya dengan utang bisnis, ya. Ini utang konsumtif yang sifatnya habis dipakai dan tidak membawa pada keuntungan.Â
Namun, kebiasaan berutang ini pernah juga dianggap keren dan justru glamor sejak kemunculan sebuah kartu sakti yang bisa dipakai membeli apa saja. Tahu kartu itu? Ya, kamu benar. Dia adalah kartu kredit.