Mohon tunggu...
Sari Agustia
Sari Agustia Mohon Tunggu... Penulis - IRT, Penulis lepas

Tia, pangillan akrabnya, menekuni menulis sejak tahun 2013 sampai sekarang. Sebuah karyanya, novel Love Fate, terbit di Elex Media Komputindo pada tahun 2014. Saat ini aktif menulis bersama beberapa komunitas dan Indscript Creative

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tak Ada Mayoritas dan Minoritas dalam Bernegara

2 Agustus 2021   15:19 Diperbarui: 2 Agustus 2021   15:49 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi desain pribadi

Kita baru bisa belajar menghargai orang lain yang berbeda ketika sudah pernah menjadi minoritas di suatu lingkungan.

Sekitar tahun 2013 hingga 2015, keluarga kecil kami sempat mengembara ke kota Aachen, Jerman. Membayangkan hidup di negara empat musih sangat mendebarkan. Rasa senang bercampur takut jadi satu. Tidak hanya perubahan demografi, perbedaan sosial budaya pun tak kalah menakutkan.

Menginjakkan kaki di benua Eropa, saya sadar bahwa akan jadi pendatang dan kaum minoritas dalam segala hal; ras, sosial, budaya, dan agama. Dari ras saja misalnya, kulit kami lebih gelap, badan kurang tinggi, atau hidung yang kalah nge-thrill dari penduduk setempat. 

Ada cerita lucu terkait ini saat kawan suami berkomentar, "Kok ada ya hidung manusia yang nyaris datar (baca; pesek) saat melihat anak gadis kami. Mau marah juga tak bisa, akhirnya kami pakai jadi bahan becandaan saja.

Kehidupan sosial dan budaya sudah pasti beda. Budaya barat cenderung lebih bebas dalam bergaul, norma hidup berbeda, open minded, dan cuek.  

Namun, di lain pihak sangat disiplin waktu, taat antri, dan teratur. Pada akhirnya kami dituntut untuk menyesuaikan diri selama tidak melanggar norma agama dan perilaku yang kami yakini. Sejauh pengalaman kami, pada akhirnya tidak ada cara hidup yang tidak bisa dikompromikan. Berhubung anak-anak pun saat itu masih kecil, tantangan mengenai pola hidup sosial pun belum banyak kami alami. 

Terakhir adalah perbedaan agama. Sebagai muslimah berhijab, saya mengalami juga perasaan waswas. Untungnya, lingkungan tempat tinggal, sekolah anak, dan komunitas kami sudah didominasi keluarga muda lokal yang berpendidikan baik juga. Mereka cenderung ramah dan sudah mulai familiar dengan bahasa Inggris. Namun, sebagai pendatang, saya juga tak tinggal diam. 

Saya ikuti kursus bahasa Jerman semata agar bisa bergaul lebih baik. Dan upaya saya membuahkan hasil. Meski tidak sempurna, sapaan singkat dengan menggunakan bahasa mereka pun sudah diapresiasi senyuman. Tidak ada kata salah bagi mereka karena paham saya sedang belajar. 

Keberterimaan mereka terwujud dengan adanya undangan playdate atau ulang tahun anak beberapa kali ketika kami di sana. Tips-tips bergaul dengan orang lokal kami dapatkan juga dari kawan Indonesia yang ada di sana.

Dokumentasi Pribadi saat ada acara gathering dengan teman sekelas_2015
Dokumentasi Pribadi saat ada acara gathering dengan teman sekelas_2015

Saya mungkin satu di antara yang beruntung tak pernah dapat perlakuan tak baik dari orang setempat. Aachen adalah salah satu kota pelajar yang memang banyak pendatangnya. Beragam pendatang bisa ditemui di sana: dengan jenjang pendidikan, kemampuan finansial, hingga keramahan yang berbeda. 

Dari sifat para pendatang pula saya belajar bahwa jika ingin diterima baik memang haruslah kita pun mau beradaptasi. Meski hanya sesederhana belajar bahasanya. Bayangkan saja, sudah hidup berpuluh tahun, dibiayai makan dan rumah dari pajak rakyat, masa iya tidak coba beradaptasi dengan bahasa setempat? Kalau orang lokal tidak terima, tentu wajar adanya.

Sebagai muslim, saya pun akhirnya belajar bagaimana bisa jadi duta yang baik. Dengan hijab yang saya kenakan, tentu orang akan mudah melihat agama dan dikaitkan dengan tingkah laku saya. Mereka banyak yang belum kenal islam. Bagaimana membuat yang takut jadi senang, yang antipati jadi empati, yang marah jadi suka, atau yang curiga jadi aman dengan kita adalah tantangannya. 

Jadi berbeda di negeri orang, saat itulah saya dibilang minoritas. Lain halnya di Indonesia, wilayahnya luas dan budayanya memang beragam . 

Berbeda jadi suatu keniscayaan dan bukan alasan mengotak-kotakan. Jadi, tidak harus ada perdebatan siapa yang lebih atau kurang dari yang lain. Ingat saja, semua satu bangsa, negara, dan bahasa. 

Mulai saat ini, hilangkan anggapan ada minoritas atau mayoritas di Indonesia karena kita adalah SATU

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun