Mohon tunggu...
Sari Azis
Sari Azis Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis. Alumnus Fisip Universitas Mulawarman Samarinda. LPTB Susan Budihardjo Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

All The Man That I Need

17 November 2021   14:13 Diperbarui: 17 November 2021   14:17 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

He fills me up

He gives me love

More love than I've ever see

Apa yang kau inginkan dari seorang lelaki? Tentu tak semata cinta, status sosial, sperma belaka. Kau butuh patner in crime dalam kehidupan yang akan membawamu ke surga. Jika yang kaudapatkan tak seperti yang kaubayangkan, bukan berarti kau egois tapi kau hanya butuh kesepakatan untuk saling dalam segala hal tak kurang tak lebih. Aku butuh enam lelaki untuk mencapai tahapan itu. Butuh belasan tahun. Luka dan luka yang tersembuhkan oleh harapan.

“Menikah itu seperti melamar pekerjaan di satu instansi. Jika asyik maka kau akan asyik. Jika tak asyik maka kau akan resign. Jika kau terpaksa maka kau akan bertahan demi kebutuhan. Jika kondusif kau akan berkembang hingga posisi puncak.” ujarku, tersipu malu.

Perias pengantin yang kusewa terlihat menahan tawa. Geli. Kualihkan pandangan ke ponsel di tangan. Sedang chating dengan calon suami yang mantan suami. Bingung, kan? Aku akan rujuk dengan mantan suami

“Bayangkan kau sudah bekerja di berbagai instansi dari swasta hingga pemerintah dan yang teri sampai yang kakap lalau kau balik ke kantor lama. Bukan main!” bahak Prista.

“Mbak, eyeshadownya jangan tebal ya? Ini kan, pagi bukan malam acaranya.” pintaku.

Mbak Wiwik, sang perias pengantin mengangguk.”Beres, mbak. Saya sudah hafal selera Mbak Inggid.” Kedipnya. Menyungging senyum lebar.

Prista terbahak. Aku pura-pura tersinggung. Merengut. Kemudian tertawa.

“Sudah berapa kali, mbak jadi perias penganti sahabat saya?” goda Prista.

“Ini yang keempat, mbak. Hehehe.” Mbak Wiwik menjawab rikuh. Memoles pipi Inggrid dengan blush on pink.

“Tak kusangka kau akan rujuk dengan Jeron, Nggid.”

“Jodoh kita mana tahu, Pris.”

Semoga ini menjadi pernikahan terakhirku. Lelah jika harus mengakhir dna memulai lagi.

I used to cry myself to sleep at night

But that was all before he came

I thought love had to hurt to turn out right

But now he's here

It's not the same, it's not the same

              

Suami pertama teman kuliah. Usai pacaran tujuh tahun, akhirnya menikah. Ternyata pernikahan kami hanya seumur jagung. Dia gay. Satu malam tepat tiga bulan pernikahan. Kupergoki dia sedang bercumbu dengan sahabat karib sejak SD di ruang tidur tamu. Perkawinan bubar begitu saja walau dia sudah mengancam bunuh diri. 

Aku tak perduli. Toh yang bunuh diri dia bukan aku. Sakit hatiku. Dipacari bertahun-tahun sampai dinikahi hanya untuk tameng saja. Pantas saja sering mengelak setiap diajak berhubungan. Pantas saja teman baiknya itu sering menginap di rumah kami. Aku yang bodoh tak peka akan keganjilan relasi di antara keduanya.

Suami kedua teman sekantor. Baik. Pemalu. Lima tahun menikah dengan dua anak-anak yang lucu, pernikahan kami dihancurkan oleh ibunya. Dia anak mami yang selalu menuruti apa kehendak ibunya, termasuk lebih mendengarkan ibunya daripada isterinya. Beli rumah, mobil, bahkan memilih bank untuk deposito saja ibunya. 

Menu masakan setiap hari harus dimasak ibunya. Jika aku yang memasak, maka ia akan ngambek tak mau makan. Sejujurnya itu karena ibunya yang menghasut di belakangku. Ibunya yang posesif itu seperti bayangan saja. Ada di mana pun kapan pun untuk apapun. Menjual rumahnya dan tinggal bersama kamu seperti neraka bagiku. Anak-anak kami, ia yang atur. Akupun ikut diatur. Aku tak tahan. Kami bercerai.

Dua tahun menjanda akhirnya bertemu jodoh lagi. Teman yang kukenal di Facebook. Mantan napi yang bertobat dan buka wira usaha di bidang kuliner. Dia baik dan ngemong. Saat aku hamil empat bulan, dia meninggal kecelakaan. Hancur hatiku.

Beberapa bulan kemudian aku menikah dengan sepupu almarhum suamiku. Duda beranak lima. Usianya sepuluh tahun lebih tua. Orangnya ngemong. Baik budi. Anak-anaknya baik. Tapi mantan isterinya tidak baik. Gemar merecoki rumah tangga kami. Dalih bersaudara walau berpisah hanya pepesan kosong. 

Dia yang minggat bersama supir dia pula yang memaksa rujuk. Suamiku tak mau bersikap tegas, aku paham karena bagaimanapun wanita itu ibu kandung anak-anaknya. Kami semakin sering bertengkar. Dia minta aku sabar. Aku sudah seribu kali sabar. Aku menyerah. Kami bercerai baik-baik.

Kemudian aku rujuk dengan suami keduaku setelah ibunya meninggal. Masalahnya ia tak bisa menerima anak ketigaku yang anak tiri baginya. Ia mengasihi anak-anak kandungnya tapi tak pernah mau bersikap sama dengan anak bungsuku. Kadang ia bersikap kasar pada Andro. Tak hanya itu satu malam ia memintaku untuk menyerahkan pengasuhan Andro pada keluarga almarhum suamiku. Ia jujur mengakui tak bisa menyayangi Andro seperti ia menyayangi kedua putri kami. 

Aku menangis. Memohon. Memeluk kedua lututnya. Minta dia berubah pikiran. Tapi ia tak mau berubah malah memintaku memilih dirinya atau Andro. Usia rujuk setahun, kami bercerai untuk kedua kalinya. Kemudian dia menikah lagi dengan seorang gadis.

Kini, setelah menjanda empat tahun, ketika aku mulai hopeless, aku mendapat jodoh lagi. Patner bisnis kuliner. Ia pemasuk daging sapi dan kambing ke resto yang kukelola. Duda beranak satu yang baik dan religius. Isterinya meninggal saat melahirkan putri semata wayangnya. Orangnya tak terlalu tinggi juga tak terlalu tampan. Hanya lulusan SMA. Dia punya peternakan ayam, sapi, dan kambing. Ia juga punya kios pemotongan daging di pasar besar. Ia selalu mendengarkan dan memberi solusi. 

Apa yang dibutuhkan seorang wanita pada lelaki, semua kutemukan padanya. Ia seperti gabungan semua mantan suamiku. Ia bisa menerimaku apa adanya. Ia juga menerima Keisha, Mely, Andro. Ia perlakukan ketiga anakku sama seperti ia perlakukan Oshi, anak tunggalnya. Pernikahan kami bahagia. 

Damai. Setiap ada masalah, kami pecahkan bersama tanpa saling menggurui apalagi memaki. Aku merasa dihargai dan dicintai. Andai Whitney Houston masih hidup dan menemukan lelaki sebaik suamiku, mungkin ia tak akan menyentuh drug. Mungkin dia akan berumur panjang. Tak galau berlarut-larut.

“Besok ada acara weekend bersama daddy di sekolah Andro.” sampaiku.

“Oh ya? Terus?”

“Kamu mau nggak temani Andro main baseball bareng papa-papa yang lain?”

“Oke. Besok aku nggak usah ke kios.”

Kupeluk suamiku. Tak terasa mataku berair. Terima kasih. Terima kasih mau menjadi ayah tiri yang baik untuk anak-anakku. Terima kasih.

“Terima kasih sudah jadi isteri yang baik untukku dan jadi ibu yang baik untuk Oshi.”

“Terima kasih sudah jadi suami yang baik dan bapak yang baik untuk anak-anak.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun