Mohon tunggu...
Sari Aryanto
Sari Aryanto Mohon Tunggu... Editor - fiksi diksi kopi, tiga hal yang membuatku lebih hidup

Perempuan biasa yang punya mimpi luar biasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dua Wajah

21 Oktober 2019   15:40 Diperbarui: 21 Oktober 2019   15:53 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Yatmi masih meratapi kematian Rina, putrinya. Gadis tujuh belas tahun itu ditemukan gantung diri pada pohon mangga gadung milik Juragan Sasmita. Rina adalah gadis yang periang, tidak pernah sekali  pun dia menunjukkan sikap putus asa hingga dapat membuatnya nekat mengakhiri hidup.

Hari ini hari keempat puluh kematian Rina. Makamnya masih terus dijaga dengan obor menyala setiap malam. Ada rumor, jika seorang gadis meninggal secara tidak wajar, maka mayatnya akan jadi incaran para pemburu pesugihan.

Kematian Rina bukanlah kematian gadis yang masih perawan di kampung Sekarwangi. Dari tahun ke tahun selalu saja ada gadis yang bunuh diri. Baik penduduk asli maupun yang sekadar singgah di kampung ini. Sehingga desas-desus adanya pulung gantung semakin santer terdengar.

Juragan Sasmitalah yang  dianggap mencari pesugihan dengan menumbalkan gadis-gadis tak berdosa. Apalagi kekayaan lelaki dengan tiga istri itu semakin bertambah, sementara dia tak pernah terdengar keluar kampung untuk bekerja. Kebun dan sawahnya pun tidak seberapa luas, jadi pantas kalau dialah tersangka utama pada kasus ini.

***

"Apakah setelah ini harus ada tumbal lagi, Pak?"

Perempuan setengah baya berbadan sekal yang tampak sibuk menghitung lembaran-lembaran kertas berwarna merah. Sementara lelaki yang disebut pak menghisap cangklong dengan perlahan.

"Satu tumbal lagi, Bu! Dan genap dua belas gadis lalu kita akan kaya raya tanpa perlu bekerja," pungkas lelaki itu dingin.

***

"Sasmita, keluar Kau!"

Teriakan demi teriakan menggema memecah pagi yang sepi. Sasmita menghampiri penduduk kampung yang tampak harang. Di tangan mereka berbagai alat pemukul dan senjata tajam tergenggam.

''Ada apa ini? Mengapa sepagi ini kalian menggrebek Aku? Apa salahku?"

"Jangan berpura-pura! Pergi Kau dari kampung ini!" teriak seorang pemuda berkulit gelap.

"Lho? Ini rumahku, kampungku, mengapa Aku harus diusir dari rumahku sendiri?" tanya Sasmita heran.

Entah siapa yang memprovokasi, tanpa menjawab pertanyaan Sasmita, mereka merangsek dan menghakimi juragan di kampung itu. Istri dan anak Sasmita hanya bisa berteriak memohon agar ayah dan suaminya dilepaskan. Namun mereka semakin beringas, Sasmita berseru menyuruh istrinya sembunyi sementara dirinya menjadi bulan-bulanan massa. Lelaki itu ditinggalkan saat sudah tidak bergerak dan berlumuran darah.

Setelah semua pergi, istri Sasmita mendekati sang suami. Matanya bengkak karena kebanyakan menangis.

"Sudah kubilang kan, Pak. Kita pindah saja ke kota setelah saham perkebunan sawit warisan Emak terjual. Kau yang bersikeras tinggal di kampung kelahiranmu, dan akhirnya mati sia-sia." Tangisnya begitu menyayat, kontras dengan suasana pagi yang indah.

***

"Pak, bagaimana jika tahun depan kita tidak mendapatkan tumbal?" tanya Yatmi pada suaminya.

Lelaki itu tersenyum tipis. Bukan tersenyum tetapi menyeringai.

"Kita akan korbankan Indah! Sama seperti kita gantung Rina dan kawan-kawannya!" desisnya seraya menatap putri keduanya yang sedang melintas.

#poeds 140119

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun