''Ada apa ini? Mengapa sepagi ini kalian menggrebek Aku? Apa salahku?"
"Jangan berpura-pura! Pergi Kau dari kampung ini!" teriak seorang pemuda berkulit gelap.
"Lho? Ini rumahku, kampungku, mengapa Aku harus diusir dari rumahku sendiri?" tanya Sasmita heran.
Entah siapa yang memprovokasi, tanpa menjawab pertanyaan Sasmita, mereka merangsek dan menghakimi juragan di kampung itu. Istri dan anak Sasmita hanya bisa berteriak memohon agar ayah dan suaminya dilepaskan. Namun mereka semakin beringas, Sasmita berseru menyuruh istrinya sembunyi sementara dirinya menjadi bulan-bulanan massa. Lelaki itu ditinggalkan saat sudah tidak bergerak dan berlumuran darah.
Setelah semua pergi, istri Sasmita mendekati sang suami. Matanya bengkak karena kebanyakan menangis.
"Sudah kubilang kan, Pak. Kita pindah saja ke kota setelah saham perkebunan sawit warisan Emak terjual. Kau yang bersikeras tinggal di kampung kelahiranmu, dan akhirnya mati sia-sia." Tangisnya begitu menyayat, kontras dengan suasana pagi yang indah.
***
"Pak, bagaimana jika tahun depan kita tidak mendapatkan tumbal?" tanya Yatmi pada suaminya.
Lelaki itu tersenyum tipis. Bukan tersenyum tetapi menyeringai.
"Kita akan korbankan Indah! Sama seperti kita gantung Rina dan kawan-kawannya!" desisnya seraya menatap putri keduanya yang sedang melintas.
#poeds 140119