Aku berdiri, memandang gelombang manusia. Tak mampu, keangkuhanku dipaksa tundukkan wajah.
Luluh lantak segala kepongahan. Mengakui kelemahan. Aku bagai buih di tengah lautan, tanpa arti.
Malu, tiada arti harta benda dan jabatan. Semua tampak hina ibarat sampah dunia.
Sembilan Dzulhijjah, di padang Arafah wujud cinta pada Sang Esa tergelar. Lautan air mata tumpah ruah, puncak ibadah haji bermuara.
"Labbaik allahuma labaik!" terjawab sudah panggilan rindu. Bertahun menanti letakkan kaki di tanah suci.
Tergugu dalam rumah-Mu, memohon ampunan untuk segala khilaf dan dosaku. Sungguh, aku ingin pengampunan-Mu.
Dalam balut baju ihram, aku tundukkan hati. Memohon ridho Mu. Tak mampu aku membendung embun yang menggantung di kelopak mata.
Â
Bersimpuh di bawah kaki-Mu. Selemah aku memandang jiwaku, sebesar itu aku ingin kembali pada fitrahku.
Setetes air mata surga mengalir dari sudut kerling. Teringat akan aib dan khilaf yang sengaja diperbuat. Bagai debu dosa nampak menyelimuti diri, malu! Begitu hinanya aku di hadapan-Mu ya Rabb...Ampuni aku.
Kerikil tertawa padaku. "Kamu hanya mengingat pada hari ini. Dimana kamu berada? "
Bersama debu, aku luruh. Kepada-Mu, terhalang jalan oleh noda hitam. Sayupku kini berganti air mata penyesalan.
Rindu membuncah ingin sujud di tanah suci, jalanku terhadang oleh sejumlah kertas. Tuhan, izinkan aku bersujud di hadapanMu