Ketika  aku kecil,  aku pernah ada di ruangan ini.  Ruang tanpa penerangan yang cukup, hanya ublik kecil yang  dinyalakan saat Eyang Kakung ada di dalammya. Saat itu usiaku enam atau tujuh tahun, tanpa  merasa bersalah kumasuki ruang yang oleh Eyang Kakung diharamkan  dimasuki siapa pun. Â
Suasana  gelap tidak membuatku merasa takut.  Rasa penasaran  yang terlampau besar membawa aku masuk lebih dalam.  Ada guci kecil dengan beberapa batang dupa di sudut kanan ruangan,  di atas meja, bersanding dengan sepiring buah-buahan yang disusun menyerupai gunung. Di lantai  tengah ruangan,  anglo dengan sisa bara berbau harum kemenyan menguar, menusuk hidung.
"Adhe!" Suara serak Eyang mengagetkan. Â Tanpa sengaja tanganku menyenggol cangkir blirik di sudut meja. Â Suara cangkir kaleng beradu dengan lantai sama menakutkannya dengan tatapan Eyang ke arahku.
"A--a--a--,''
"Keluar! " perintah lelaki tua  di hadapanku dengan suara dingin.
Tak perlu menunggu  lama,  kaki kecilku melesat menuju ke arah pintu. Hampir saja menabrak Eyang Uti yang sedang melintas ruang tengah. Telingaku mendengar ibu ayahku itu mengomel,  tapi sama sekali tak kuindahkan. Dengan  gemetar  kucari persembunyian. Aku tetap berlindung  di balik kamli, selimut tebal bermotif garis,  sampai keesokan paginya karena  mengira Eyang Kakung marah padaku. Â
***
Saat hari berganti, Eyang memanggilku dan seperti  biasa, dia memberikan nasihat-nasihat yang dibalut sanepan atau kiasan.  Beberapa  kali, Eyang menyebut nama Ibu Ratu,  Ndlepih, Kahyangan,  yang semuanya  tidak aku pahami. Â
Sampai setelah peristiwa  itu,  terjadi keanehan pada diriku.  Di rumah  Eyang yang asri sering kulihat makhluk tak kasat mata.  Dari potongan kepala dengan lidah menjulur panjang di saka guru ruang tengah, hingga perempuan  cantik dengan rambut terurai panjang yang duduk di atas punggung  buaya.  Kata orang  aku kerauhan,  atau disebut  kesurupan.  Akan tetapi Eyang Kakung hanya menggendongku dengan sarung tenun goyor beraroma tembakau untuk  menenangkan  aku.
Penglihatan -penglihatan  itu tidak pernah  berhenti  mengikutiku,  bahkan di saat aku sudah kembali  ke rumah bapakku.  Bapak dan Emak selalu menghibur, nanti  jika aku mendapatkan  haid pertama,  penglihatan  itu akan menghilang,  dan aku tak perlu  lagi merasa takut.Â
Namun,  semua pernyataan  itu terbantahkan. Sehari sesudah bancakan latar digelar,  tanda aku adalah adalah seorang gadis, perempuan cantik berkemben hijau yang kulihat bertahun berselang  menemuiku dalam mimpi. Sampai sekarang, dia mengikutiku.
***
Hari ini,  aku berdiri  di depan  ruang meditasi Eyang Kakung. Sejak sepuluh tahun  lalu, aku lebih sering  menghabiskan waktu di ruang remang itu saat pulang ke rumah ini. Mengenang semua nasihat lelaki yang menggantikan peran bapak dalam hidupku.