Ladrang kebogiro dilanjutkan kodhok ngorek menggema seantero pendhapa ageng yang biasa dipakai untuk latihan tari di padhepokan Rekso Budaya. Hari ini tepat tiga tahun kepergian Nunuk yang tanpa kabar, kecuali kepada Abeb.Â
Yani melangsungkan pernikahan dengan Ken, mantan tunangan Nunuk. Kepergian Nunuk rupanya mendekatkan keduanya, hingga mereka memutuskan menikah. Yani merasa ada yang timpang dengan perasaannya, kesedihan tampak pada sorot matanya saat upacara panggih dilakukan.
"Seharusnya kau yang ada di posisiku, Nuk!" keluh Yani dalam hati.
Acara berlangsung sangat meriah, anak-anak yang merupakan cantrik di padhepokan menyumbangkan tari Gambyong Parianom, Golek dan Panji Semirang secara bergantian, menghibur para tamu undangan.
***
"Beb, mana Nunuk? Katamu dia akan hadir di sini saat aku menikah?" tanya Yani saat Abeb masuk ke dalam kamar yang disiapkan sebagai kamar pengantin untuknya.
"Ini untukmu! Tadi mbak Nunuk memang datang, tapi hanya untuk menitipkan kado untuk Mbak Yani."
Yani mengulurkan tangannya menerima bungkusan itu, Â membuka segelnya dan mengeluarkan isi bungkusan itu. Airmatanya mengalir, dia menimang benda yang diterimanya dari Nunuk.
"Kamu nggak melupakan aku, Nuk ..., bahkan kau ingat kado apa yang kuminta darimu untuk pernikahanku. Makasih ya, Nuk! Aku akan menyimpan patung Kamajaya-Kamaratih ini seperti aku menjaga persahabatan kita."
Hari-hari selanjutnya berjalan seperi biasa, padhepokan tari Rekso Budaya makin giat melestarikan budaya Jawa, terutama karawitan dan tari Solo putri. Yani dibantu Ken suaminya mengelola padhepokan dengan sepenuh hati. Semakin hari nama padhepokan yang berada di dalam lingkungan Mangkunegaran semakin kondang. Bahkan sesekali mereka diberi kesempatan untuk mengisi festival-festival kebudayaan bekerjasama dengan Pemkot Solo.
"Sekar ..., tolong panggil Oom Abeb! Dari tadi bilang mau ngantar Ibu ke Reksoniten ngambil blangkon kok ndak muncul-muncul!" seru Yani pada gadis kecil berusia kurang dari empat tahun yang sedang memainkan payung kecil, properti untuk tari Bondan.
Gadis berkuncir dua itu menoleh, segera kaki-kaki mungilnya berlari ke arah dalam. Tak berapa lama kemudian dia datang menggandeng pamannya yang tampak baru bangun tidur.
"Apa to, Mbak? Baru juga mak leer, sudah dibangunkan saja! Kaya melu Kumpeni aku ini!" gerutu Abeb seraya menguap lebar.
"Lho kamu itu gimana to, Beb? Bukankah tadi pas kamu pulang kuliah aku sudah bilang, antarkan ke reksoniten ambil blangkon! Karena Masmu Ken ngantar anak-anak untuk mentas di Jakarta!" gerutu Yani, tangannya terulur hendak menjewer kuping adiknya itu.
"Heh ..., heh ..., aku ini sudah besar, sudah tua! main jewer aja!" tangan Abeb menepis jari Yani.
"Iya sudah tua, tapi kuliah ndak selesai selesai, tahun ini ndak lulus kelakon jadi mbaureksa kampus kowe!"
"Lhoooo ... ujungnya pasti membahas itu! Mbak Yani nggak asyik ah!"
"Bukan membahas, tapi mbok ya inget weling Bapak sama almarhumah Ibu! Selesaikan kuliahmu, jangan sibuk pacaran saja! Aku perhatikan, sejak kepergian Nunuk kamu itu malas kuliah, malah sibuk nggandeng pacar gonta-ganti. Hari ini Susi, besok Tini, lusa Siti eh bulan depan ganti lagi. Sudah sana cuci muka, antar Mbak sekarang!" ujar Yani seraya mendorong bahu adiknya ke dalam.
(Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H