Malam sudah mulai larut saat satu persatu pengrawit pamit pada Yani. Â Gadis itu merapikan peralatan yang baru saja dipakai untuk gladen tari. Tangannya lincah melipat kain, sampur dan merapikan beberapa senjata, alat bantu tari yang berserakan di lantai. Malam ini padhepokan tari sedang mempersiapkan diri untuk turut serta dalam Festival Wayang Bocah, yang memang menjadi agenda wisata tahunan kota Solo. Mereka akan mementaskan lakon Srikandhi Ngedan, dengan mengambil setting kerajaan Panchala.
Srikandhi Ngedan berkisah tentang usaha Srikandhi memperjuangkan cintanya pada Arjuna yang merupakan suami saudari tirinya, Sembadra. Kisah cinta mereka ditentang oleh Drupadha, ayahnya. Sang ayah mengurungnya dalam kaputren yang dijaga ketat. Namun Srikandhi tak kurang akal, dia berpura-pura gila agar dapat melarikan diri dari kaputren.
***
Setelah selesai memasukkan semua peralatan ke dalam lemari kaca di sudut pendhapa, Yani berjalan ke arah pintu gerbang, bermaksud menutup regol gede. Langkahnya terhenti saat melihat Nunuk sahabatnya duduk termenung di lincak samping pohon kemuning yang sedang berbunga dan mengeluarkan harum.
"Heh, Nuk ..., kamu belum pulang? Aku pikir kamu sudah mblirit tanpa pamit." tegur Yani seraya mendekat.
"Aku mau berhenti menari, Yan!" sahut Nunuk lirih.
'Lho ..., lho..., lho ..., ada apa ini? Kita ini menari hampir seumur hidup kita lho! Dan kita mengelola padhepokan ini sudah enam tahun, lalu sekarang tanpa alasan jelas kamu mau berhenti menari? Cerita padaku, Nuk! Kamu kenapa?" cecar Yani.
"Aku harus pergi, Yan ..., ini keputusanku. Aku titip anak-anak padamu!" tegas Nunuk tanpa menjawab pertanyaan yang dilontarkan Yani.
"Ini pasti gara-gara Abeb! Dasar bocah gendheng, sudah tahu kamu bertunangan dengan Kensha, masih saja mengejarmu!"
"Jangan salahkan Abeb, Yan! Aku yang salah, dan karena itu aku harus menerima konsekuensinya. Aku pamit ya, Yan ..., sampaikan juga pamitku pada Pakdhe Rekso!" kata Nunuk setengah berbisik.
Perempuan berperawakan mungil itu beranjak dari duduknya, air mata mengalir membasahi pipi seiring langkahnya meninggalkan padhepokan tari.
***