"Apalagi yang kau pikirkan, Nuk?" kembali Yani bertanya pada sahabatnya saat istirahat latihan malam ini.
"Entahlah, Yan ..., semua begitu membingungkan!" jawab Nunuk lirih, tangannya sibuk memainkan ujung sampur bermotif cinde yang melingkar di pinggangnya.
Kedua perempuan muda yang bersahabat sejak masa kanak-kanak itu saling menatap, mata Nunuk tampak membasah, mencerminkan pergolakan batin yang dirasakan. Yani memeluk sahabatnya dengan erar, tanpa kata-kata diapun ikut merasakan apa yang coba disembunyikan Nunuk dari semua orang.
"Kita bukan sekedar sahabat kan, Nuk? Kau belahan jiwaku!"
"Aku ingin membuka kembali padhepokan tari kita, Pak!" seru Yani pada Rekso ayahnya yang duduk di tengah pendhapa, membelakangi pintu masuk.
Lelaki tua itu menoleh, kumis tebal yang melintang tak mampu menyembunyikan senyum lebar di bibir tuanya.
"Kamu serius kan, Nduk? Bukan sekedar menyenangkan hati Bapak seperti yang dilakukan Rukmi, mbakyumu. Tiga bulan saja kemudian berhenti. Kasihan anak-anak yang begitu semangat belajar menari kalau hal itu terjadi lagi."
Pak Rekso mendekati putri kelima, anak pertama dari istri ketiganya itu," Kalau memang kamu serius, Bapak bahagia sekali, Nduk!"
Handayani tersenyum lebar," Tentu saja sangat serius, Pak. Bukankah sejak Yani kecil Bapak selalu berkata, kalau padhepokan tari kita harus tetap berjalan. Agar kelak anak cucu kita jangan sampai malah belajar tari Solo putri ke Belanda. Begitu kan, Pak?"
"Yan, tapi mengelola sebuah padhepokan tari itu tidak mudah. Bapak sudah tua, tidak sanggup lagi mengajar lebih dari satu jam. Lalu dengan siapa kamu akan mengelola padhepokan ini? Mbakyu dan Kangmasmu tidak bisa diharapkan, mereka lebih suka bekerja di kantor daripada mengajar tari."
"Dengan Nunuk, Pak!" jawab Yani mantap.