Mohon tunggu...
Sari Aryanto
Sari Aryanto Mohon Tunggu... Editor - fiksi diksi kopi, tiga hal yang membuatku lebih hidup

Perempuan biasa yang punya mimpi luar biasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku Bukan Pelakor

30 Oktober 2017   10:05 Diperbarui: 30 Oktober 2017   10:18 1813
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perempuan di awal duapuluhan tahun itu meringkuk di sudut ruangan yang porak poranda. Wajahnya penuh lebam, pakaian yang ia kenakan robek di sana-sini. Tangan kirinya menutupi bagian dada yang terbuka lebar, sementara tangan kanannya menutupi kepalanya seakan takut sesuatu menimpa kepalanya.

Perempuan itu merintih kesakitan, tetapi warga kampung yang berkerumun hanya menatap saja, beberapa ibu-ibu justru terdengar memakinya tanpa ampun. Sementara di luar rumah yang dia kontrak tampak seorang wanita dengan dandanan menor yang dipegangi dua orang hansip. Mulutnya menceracau tak jelas.

"Ya Allah, kenapa kalian semua diam dan hanya memandang nak Najwa saja!" seru bu Raji yang baru datang ke tempat itu.

"Bubar kalian! Tak baik melihat sesuatu yang tidak pantas, apalagi melihat perempuan yang terbuka auratnya dan kalian hanya melihat saja! Benar-benar zalim kalian!" teriak perempuan tua itu seraya menutupi tubuh Najwa yang penuh luka cakar dan pukul dengan sobekan gorden yang tergeletak di lantai.

Warga perlahan mundur, mereka segan dengan bu Raji, perempuan tua pemilik warung kelontong di ujung jalan. Namun mereka pergi dengan menggerutu.

"Bu Raji salah minum obat kali ya? Kenapa membela perebut laki orang sih? Apa dia tidak tahu yang barusan melabrak Najwa itu istri tua dari suaminya?" kata seorang ibu berbaju kuning.

"Kita harus usir pelakor itu! Jangan-jangan nanti giliran laki kita yang digodain, terus kita yang ditinggalin!" sahut ibu lain dengan semangat.
***
Najwa yang masih ketakutan didudukkan bu Raji di kursi ruang tamu yang seperti kapal pecah. Dua orang pegawai yang ditelpon bu Raji datang membantu merapikan rumah Najwa, kaca-kaca yang berserakan disapu dengan hati-hati.

"Aku bukan pelakor! Aku bukan pelakor!Aku bukan pelakor!" gumam Najwa berulang-ulang.

Bibirnya yang pecah dan menyisakan darah mengering di sudut bibir itu tampak gemetar, tatapannya kosong. Bu Raji menyodorkan air mineral botolan yang dibawa pegawainya, mengusap lembut rambut Najwa yang lepek.

"Sudahlah Nak! Minum dulu biar tenang, Ibu akan tetap di sini menemanimu. Nanti saja kamu menjelaskan kalau pak RT sudah datang. Istirahatlah dulu ya, jangan mikir apa-apa!" kata bu Raji seraya membersihkan luka Najwa dan mengoleskan minyak tawon untuk mengurangi nyeri.

 ***
Ba'da Ashar, beberapa orang berkumpul di ruang tamu rumah Najwa yang sedikit lebih rapi, benda-benda yang pagi berserakan, pecahan kaca dan porselen, serta kursi yang patah sudah disingkirkan dan dibersihkan oleh pegawai bu Raji. Pak RT dan perwakilan warga datang untuk meminta penjelasan dari Najwa tentang peristiwa tadi pagi yang menghebohkan kampung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun