Malam merambat semakin tua, suasana pedesaan yang hening terasa mencekam malam ini. Yuli menutup laptopnya, pekerjaannya sebagai guru bantu di desa Kemuning memaksanya bekerja sampai malam. Beberapa anak dari pekerja perkebunan teh memang sering datang ke rumah dinasnya selepas magrib. Pada pagi sampai siang mereka kadang membantu orang tua yang bekerja sebagai pemetik teh.
Lingsir wengi sliramu tumeking sirna
Aja tangi nggonmu guling
awas ja ngetera
aku lagi bang wingo-wingo
jin setan kang tak utusi
jin setan kang tak utusi
dadya sebarang
Waja lelayu sebet
Sayup-sayup Yuli mendengar seseorang menembangkan durma, salah satu dari sebelas tembang macapat. Perempuan di akhir dua puluhan tahun itu menyandarkan punggungnya pada amben kayu jati di sudut kamar. Dia menyelonjorkan kakinya yang terasa pegal, matanya terpejam. Ingatannya mengenang ayahnya yang jauh di Jakarta, beliau suka sekali tembang-tembang macapat. Bahkan waktu Yuli masih kecil, ayah menidurkannya dengan tembang macapat yang sarat nasehat.
" Heh! Siapa yang nembang malam-malam begini?" tiba-tiba Yuli disadarkan oleh sesuatu yang ganjil.