Mohon tunggu...
Sari Aryanto
Sari Aryanto Mohon Tunggu... Editor - fiksi diksi kopi, tiga hal yang membuatku lebih hidup

Perempuan biasa yang punya mimpi luar biasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Cerpen] Ayah untuk Elsa (1)

12 November 2016   11:35 Diperbarui: 12 November 2016   12:02 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.freehdimages.in

Undangan reuni tahunan masih dipegangnya dengan tatapan nanar, sesekali ia menarik nafas panjang seakan harus segera mengisi kantung paru-parunya yang mengosong. Winda, perempuan diakhir duapuluhan itu terbelenggu pada dua pilihan yang sama-sama sulit. Di satu sisi ia ingin sekali datang dan berkumpul dengan sahabat masa SMA yang telah berpisah satu dekade lamanya, tapi di sisi lain Winda malu dengan kondisi ekonominya yang jauh di bawah mereka.

"Pokoknya kamu harus datang lho Win! Ajak Elsa juga, kita akan nginep nanti di villa Rico. Mumpung week end, lagian reuni kali ini cuma beberapa sahabat dan keluarga saja kok. Betewe nanti aku ajak Marla ponakanku, cuma aku yang belum laku dari antara kita. Semua bawa pasangan dan anak, aku saja yang masih jomblo." Susanna sahabat terdekat Winda semasa SMA masih terus membujuknya untuk datang ke reuni kelas mereka.

"Aku belum bisa memutuskan Ann! Aku malu." jawab Winda lirih. Tepukan di bahu Winda mengalihkan pandangannya dari kartu undangan itu, "Apa yang membuatt malu Win? Justru kamu contoh perempuan hebat lho! Lihat usaha laundry mu ini, kamu jadi bos buat dirimu sendiri bahkan dua pegawaimu itu bergantung padamu, sedang aku hanya pegawai yang terus kuatir jangan-jangan perusahaan bulan depan pailit trus aku mau kemana? Sudahlah, Jumat siang aku jemput ya! Jngan lupa bawa jaket, di sana dingin katanya. Please Win, kalau bukan untuk dirimu anggap saja kau mengajak liburan Elsa. Oke!" kata Susanna lagi seraya meraih tas bermerek luar seharga puluhan juta di sampingnya. "Aku balik Win, jangan lupa Jumat!"

Winda tersenyum dan melambaikan tangan ke arah Susanna sahabatnya itu. Bersamaan dengan berlalunya Susanna, seorang gadis kecil bermata bulat penuh dengan rambut ikal memasuki pagar rumah sekaligus tempat usaha laundry Winda,"Tante Anna lagi ya Bun? Bawa oleh-oleh apa?" tanya gadis kecil itu dengan mata berbinar mengharapkan sesuatu. "Ih, kebiasaan ya! Tante Anna kasih undangan reuni buat Bunda tapi mungkin Bunda nggak datang El. Makan dulu sana, tapi sebelumnya mandi dulu, bau!" kata Winda sambil pura-pura menutup hidungnya. Elsa, putri semata wayang Winda tertawa terbahak dan memasuki rumah dengan cepat.

Sepeninggal Elsa kembali Winda menekuri undangan yang masih dipegangnya. Dadanya terasa kosong dan kepalanya penuh dengan berbagai praduga yang akan diterimanya jika ia datang ke reuni. Winda tiba-tiba takut dengan statusnya sebagai single mom, takut jika mereka menanyakan ayah Elsa, apa yang harus dijawabnya. Memang pernah sekali waktu Susanna bertanya padanya, tapi sebagai sahabat Anna tidak mendesak saat Winda mengelak menjawab. Bahkan ketika Elsa bertanya pun ia tidak pernah menjawab dengan pasti, karenaemang ia tidak tahu bagaimana harus menjawabnya.

Hari berlalu begitu cepat, sebenarnya Winda masih ragu untuk berangkat tapi Susanna tidak membiarkannya terus berfikir. Susanna menelpon Elsa tanpa persetujuannya menjanjikan Elsa liburan yang menyenangkan. Sepanjang perjalanan ke Kopeng, empat puluh kilometer Elsa terus saja bercanda dengan Marla kawan barunya, sementara Winda masih tenggelam dalam pikirannya sendiri. " Eh Win, tahu nggak kali ini Arif akan datang lho, sehati banget ya kalian ini!" tiba-tiba Susanna mengejutkan Winda yang masih melamun.

"Win, kamu denger nggak sih?" tanya Susanna menepuk paha Winda. "Dengar Ann, sama istri dan anaknya ya? Aku dengar dia menikah sebelum lulus kuliah." sahut Winda tersendat, jantungnya berdenyut keras sekali tanpa tahu sebabnya. Susanna tertawa mendengar pertanyaan Winda, "Dasar kudet kamu! Masak nggak tahu sih, Arif tu duda! Dia bercerai tiga tahun lalu, mereka punya seorang putri berumur empat tahun katanya, tapi aku belum pernah bertemu dengannya. Terakhir aku ketemu Arif dua bulan lalu karena kebetulan dia klien di kantorku!"

Ingatan Winda melayang ke masa sepuluh tahun silam saat Arif mengucapkan putus padanya, dan sebulan kemudian dia sudah dekat dengan gadis lain. Rasa pedih tiba-tiba menyergap hati Winda, banyak kesulitan yang ia alami setelahnya, pernikahan yangrjala dilangsungkan hanya sebulan selang ia lulus sekolah, perceraian enam bulan berikutnya, kelahiran Elsa dan usahanya untuk menjadi single mom yang terus menuai cibiran banyak orang.

"Iss ngelamun aja terus! Yuk, dah sampai nih!" lagi-lagi Susanna membuyarkan lamunan Winda. Mereka berjalan beriringan menuju villa Rico, rumah berarsitektur Jawa kuno dengan gandok-gandok di sekeliling pendhapa itu sudah ramai dengan beberapa teman yang sudah datang. Setelah sekedar berbasa-basi Winda menuju kamar yang ditunjukkan istri Rico, kamarnya menghadap ke utara bersebelahan dengan kamar Susanna. Jendela yang menghadap kebun belakang terbuka lebar, dari arah kebun tercium aroma harum kemuning yang mekar.
***
Sore menjelang malam mereka berkumpul di pendhapa, Rico, Taufan, Susanna, Fanny,dan Winda beserta keluarga masing-masing. Anak-anak bermain dengan gembira dengan kawan barunya, Elsa menjadi kakak bagi semua anak teman Winda, karena memang Elsa yang paling tua di antara mereka.

"Kamu kok bisa kawin muda sih Win? Padahal kita mikirnya kamu kuliah di luar kota. Lagian nggak ada yang diundang, kenapa?" tanya Fanny yang sedari dulu terkenal bawel. Susanna menyikut perut Fanny,"Apaan sih lo Fan? Ntar lagi nanya kenapa gue belom kawin gitu? Udah ah, nggak usah bahas yang gituan. Kita kesini buat seneng-seneng bukan mau ngorek kesedihan!"

Winda tersenyum hanya menggedikkan bahunya, pembicaraan mereka beralih pada topik usaha masing-masing. Taufan yang punya kost-kostan menawarkan kerjasama dengan Winda untuk menghandle cucian anak kost yang menyewa kamar di tempatnya. Sementara Rico dan Susanna membahas prospek usaha baru yang mungkin mereka lakukan bersama. Sedang Fanny bergabung dengan istri Rico dan Taufan di meja makan mengobrol soal acara tivi yang sedang trend.

Pembicaraan mereka terhenti saat sebuah mobil memasuki pelataran villa, ternyata Arif dan putri kecilnya yang datang. Rico menyambut kedatangan Arif dan menunjukkan kamar yang akan di tempati Arif. Pandangan Winda tertuju pada Olive, putri Arif, ia merasa begitu kenal dengan wajahnya, seperti seseorang yang dekat sekali dengannya.

"Bunda, aku lapar!"suara Elsa diiringi lima anak yang lainnya ribut minta makan. Rupanya mereka sudah lelah bermain berkejaran di halaman yang memang luas. Jantung Winda bergemuruh saat menyadari wajah Olive sama persis dengan Elsa anaknya. Wajahnya memucat, kakinya lemas seakan tanpa tulang.

"Ya Allah, kok bisa ya anak kalian mirip banget? Seperti saudara saja!" tiba-tiba Fanny mengejutkan semua yang ada di ruangan itu. Serentak mereka memandangi Elsa dan Olive dan menggumamkan berbagai praduga. Arif memandang Winda dengan heran tanpa mengucapkan sepatah katapun. Susanna memecah kecanggungan yang terjadi denganengajak makan malam, karena memang anak-anak sudah lapar. Mereka makan malam dengan santai sesudahnya dan beristirahat tanpa mengungkit kemiripan Elsa dan Olive lagi.
***

#poeds 121116

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun