Mohon tunggu...
Sari Aryanto
Sari Aryanto Mohon Tunggu... Editor - fiksi diksi kopi, tiga hal yang membuatku lebih hidup

Perempuan biasa yang punya mimpi luar biasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[SBB] Purple Rain

25 Oktober 2016   15:34 Diperbarui: 25 Oktober 2016   15:54 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ku umpamakan hatiku selaksana panas siang hari, tiba - tiba bermuram oleh kumpulan mendung. Gemuruh guntur pecah bersahutan. Lalu satu - satu gerimis jatuh dari sudut mataku yang kelelahan. 

 Seminggu lalu dia masih memanggilku dengan kata sayang, seminggu lalu dia masih memesraiku layaknya kekasih, seminggu lalu aku masih berbahagia dengannya. 

Tiba - tiba saja tanpa sebab yang jelas, dia bungkam, handphonnya tiada yang aktif, akun facebooknya raib. Tanya dan khawatir, menjejali otak dan hatiku. Sesakit ini ternyata rasanya dalam ketidak pastian. 

" Maafkan aku yang tidak memberi kabar, entah kenapa hatiku tiba - tiba dingin terhadap perempuan. Berhentilah mengharapkanku, aku tidak bisa memaksa hatiku untuk melanjutkan hubungan ini. Maafkan aku yang sudah memberimu janji, janji untuk menjadi ayah buat anak - anakmu ". 

 Dia mengirim pesan singkat, membacanya membuat perasaanku seperti badai hujan angin. Aku tidak tau harus membalasnya dengan kata apa. Isak tangis kutahan sekuat hati, ini waktu yang tidak tepat untuk menumpah ruah sesak kesedihanku. 

" Inikah rasanya para lelaki yang mencintai sesama lelakinya ?, tak sedikitpun ada perasaan getar suka dengan perempuan ?". 

Tumpuan kakiku terasa melemas. Isi pesan singkat yang dia kirim terbaca nanar oleh mataku. Terasa remuk hatiku, pengakuannya selaksana gondam meluluh lantakkan persendian tubuhku. 

Karena tugas dalam pekerjaanku, membuat aku tak asing lagi dengan kaum yang memiliki kelainan orientasi sex itu, tp sedikitpun tidak menyangka dia juga seperti itu, inikah maksud Tuhan mengarahkanku bekerja dan, berbaur dengan komunitas lelaki yang tak memiliki ketertarikan pada perempuan, agar aku lebih bijaksana ?

Seandainya dia mengatakan, telah mendapatkan perempuan yang jauh lebih pantas untuk dijadikan pendamping hidupnya, mungkin kesakitanku tak sehebat ini.

Rasanya aku tidak mampu bangkit, akan kuapakan perasaan kasih sayang yang sedang mekar ini?. Seandainya perasaan ini hanya sebentuk tanaman akan gampang kutuangi racun agar mati sampai keakarnya. Tapi ini perasaan yang melekat erat pada hatiku,dan jiwaku...

Berhari - hari aku hanya bungkam, ini rasanya dicampakkan, ini rasanya dipaksa merenggut kebahagiaan yang siang malam kurasakan bersamanya. Ini rasanya kehilangan, ini rasanya dipaksa berhenti mencintai, ini rasanya dipaksa berhenti berharap. 

Berhari - hari aku berdiam diri dikamar, aku tidak tau kesakitan yang mana sedang kutangisi, atau aku sedang menangisi kesepianku. Dia menyuruhku memakinya, tapi bagaimana bisa ?. Aku mencintainya dengan kesungguhanku. 

Aku gontai menyusuri jalan  di lintas selatan yang lengang pada siang hari. Motor kupacu sekenanya saja. Aku sedang butuh teman bicara, aku sedang butuh dikuatkan, tapi rasanya aku tidak sanggup menutur cerita. 

Panas terik perlahan berubah muram oleh mendung, satu - satu gerimis kian deras, kubiarkan tubuhku kuyup oleh hujan. Aku meraung menangis sepuasnya mengadu pada hujan. Seperti pengaduan anak ke ibunya atas kesedihannya. 

Aku berharap musim hujan lebih panjang, hujan yang membasuh linangan air mataku, saat tidak ada tangan tulus yang sanggup melakukannya. Hujan yang menyamarkan suara tangisku. Hujan yang setia mendengar tutur kesedihanku. Hujan yang di kirim Tuhan untuk mengiring doa - doaku.

 

#minan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun