Mohon tunggu...
Sari Aryanto
Sari Aryanto Mohon Tunggu... Editor - fiksi diksi kopi, tiga hal yang membuatku lebih hidup

Perempuan biasa yang punya mimpi luar biasa

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

[Fiksi Horor dan Misteri] Soto Seruni

27 September 2016   21:32 Diperbarui: 28 September 2016   10:30 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Tak lela lela lela ledhung
Cep menenga aja pijer nangis
Anakku sing ayu rupane
Yen nangis ndhak ilang ayune

Wanti mengusap-usap kepala Seruni anaknya yang tergolek lemah di dipan bambu tanpa alas. Hatinya merana karena melihat kondisi anaknya yang semakin kurus, kulit Seruni bak menempel di tulangnya. Sudah tiga bulan Seruni hanya mampu berbaring di dipan, sekolahnya pun terpaksa putus. Anak berusia sembilan tahun itu bahkan untuk makan saja butuh bantuan ibunya. Padahal sebagai orang tua tunggal Wanti juga harus bekerja karena sejak tiga bulan lalu pula suami keparatnya minggat dengan selingkuhannya.

"Tidurlah Run! Ibu harus siap-siap ke pasar agar besok tidak kesiangan!" kata Wanti lirih. Tiga bulan belakangan ini pula Wanti membuka warung nasi di depan rumahnya. Hal yang mau tidak mau harus dilakukan karena dia membutuhkan uang untuk kelangsungan hidupnya berdua. Wanti berjualan soto daging sapi, menu andalan resep warisan orangtuanya. Sebelumnya dia hanya seorang buruh cuci yang menerima tempahan dari tetangga kiri kanan. Parjo suaminya tidak pernah memberi uang yang cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Kebiasaan berjudi dan main perempuan membuat penghasilannya sebagai kepala cabang sebuah dealer habis bahkan kepergiannya pun meninggalkan hutang.

Wanti mengayuh sepeda onthel menuju pasar yang buka duapuluh empat jam. Setelah berbelanja segera dia pulang dan mulai meracik bumbu soto. Sebelum tidur di sempatkannya menengok Seruni yang masih pulas di kamarnya. Wanti menghela nafas panjang dan menghembuskan perlahan udara yang sesak memenuhi dada. Besok masih banyak pekerjaan, dan Wanti melangkahkan kaki menuju kamar yang selama sebelas tahun ditiduri bersama suaminya.

Warung Wanti selalu ramai, belum jam sepuluh pagi soto buatannya sudah habis. Hingga masih banyak waktu baginya mengurus Seruni dan menerima cucian dari tetangga. Dia harus banyak uang agar di hargai lelaki. Buktinya setelah warung sotonya laris, beberapa lelaki mulai mendekatinya. Tapi rasa sakit yang dia rasakan membuat Wanti menjaga jarak pada lelaki. Tapi terus terang ada satu lelaki yang mulai menarik hatinya, namanya Adi pegawai bengkel langganan warung soto Wanti.

Adi juga memperhatikan Seruni, walaupun belum pernah bertemu anaknya itu Adi sering menanyakan keadaan putrinya itu. Pernah dua kali setelah pulang kerja Adi mampir ke rumah Wanti dan ngobrol sampai malam tiba. Sore ini pun Adi kembali mampir, membawakan martabak manis untuk Seruni katanya. Adi bahkan membantu Wanti mengangkat jemuran di halaman belakang rumah.

Belakang rumah Wanti tidak begitu luas sebenarnya, sebagian di tanami bunga pacar sebagian lagi di tanami singkong. Di ujung barat utara ada padasan batu yang cukup besar, sudah tidak banyak orang yang punya. Mungkin padasan itu warisan dari orangtua Wanti. Adi berjalan mendekati padasan tersebut karena penasaran dengan bentuk dan kekunoannya.

"Mas Adi, ngapain kesana? Sini bantu aku saja!" suara Wanti mengurungkan niat Adi. Adi kembali masuk ke rumah dan mulai membantu Wanti melakukan pekerjaannya. Sampai tak terasa malam tiba sedang di luar turun hujan yang sangat deras. " Sudah nginep saja Mas, tapi maaf cuma ada dua kamar di sini!" kata Wanti saat melihat Adi gelisah. Segera Wanti menyiapkan bantal dan selimut untuk Adi. Dia dengan terpaksa harus tidur di kursi kayu yang diambil dari warung soto.

Malam semakin larut hujan juga semakin deras Adi dan Wanti yang saat itu menonton televisi secara tak sadar saling mendekat. Dinginnya udara malam yang masuk melalui celah angin-angin merasuk ke dalam tulang. Tangan Adi menggapai tangan Wanti dan meremasnya. Pandangan mereka beradu, dan entah siapa yang memulai kedua insan yang kerasukan nafsu itu saling memagut dan bergumul dengan buas di kursi yang mereka duduki. Sampai beberapa saat kemudian mereka terkapar kelelahan dan tertidur.

Adi terbangun kala mendengar suara berisik dari arah dapur. Rupanya pagi sudah tiba, Wanti sedanh menyiapkan dagangannya. Adi beringsut dan merapikan pakaiannya yang tercerai berai semalam, dia tertidur tanpa busana. Adi mendekati dapur dan berdiri di ambang pintu, pandangannya tertuju pada talenan alas memotong tulang-tulang untuk kuah soto. Adi tercekat saat menyadari yang di atas talenan itu bukan tulang sapi, tapi seperti tulang paha manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun