Mohon tunggu...
Sari Aryanto
Sari Aryanto Mohon Tunggu... Editor - fiksi diksi kopi, tiga hal yang membuatku lebih hidup

Perempuan biasa yang punya mimpi luar biasa

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

[Fiksi Horor dan Misteri] Wajah Siapa yang Ada Dalam Cermin

26 September 2016   17:50 Diperbarui: 28 September 2016   11:00 454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

BBM dari mama yang mengabarkan papa sakit keras mengusik ketenangan Ranti. Sudah enam tahun dia tinggal di Solo, jauh dari kota asalnya. Sejak kematian Yanti saudari kembarnya yang meninggalkan luka bagi keluarga besar Ranti, dia memutuskan pergi jauh dari Denpasar, kota tempat dilahirkan dan dibesarkan. Tapi BBM mama kali ini memaksanya harus pulang, mau tidak mau dia harus menghadapi trauma masa lalu yang mencekam.
***
"Dengan ini kami menyatakan saudara Regita Puspitasari bersalah melakukan pembunuhan berencana terhadap saudara Yanti Surbakti dengan cara membubuhkan racun sejenis ricin kedalam minuman korban. Dengan demikian, pengadilan memutuskan hukuman selama tiga tahun enam bulan potong masa tahanan terhadap saudara Regita Puspitasari!"

TOK.. TOK... TOK...

Suara palu hakim bergema di seantero ruangan sidang, sementara Regita terpekur menantap lantai.
***
Pantai Semawang sangat ramai sore itu, para wisatawan bermain air laut dengan riangnya. Di cafe seberang pantai, tampak sekumpulan anak muda sedang merayakan sesuatu. Yanti, Regita, Wina dan teman yang lain tampak bersendau gurau dan saling mengejek. Mereka teman satu SMA yang baru bertemu kembali setelah dua tahun berlalu. Yanti yang baru pulang dari Malaysia di telpon Wina sahabatnya untuk bertemu sekedar melepas kangen. Suasana riang itu tiba-tiba berubah ricuh saat Yanti berteriak sambil memegangi lehernya.

Para wisatawan di sekitar cafe berhamburan mencari tahu kejadian apa yang baru saja terjadi. Pertolongan pertama yang diberikan tidakberi hasil apapum, Yanti dilarikan ke Bali Hospital. Namun naas sebelum sampai rumah sakit, Yanti menghembuskan nafas terakhir. Keluarga besar Surbakti merasa marah sekaligus sedih dengan kematian Yanti. Terutama Ranti, saudara kembar yang terpisah selama dua tahun dan belum sempat berbincang telah meninggalkannya untuk selamanya.

Polisi segera melakukan penyelidikan, otopsi dilakukan dan mereka menetapkan Regita sebagai tersangka, karena dialah yang memfasilitasi reuni saat kejadian naas itu terjadi. Sidang yang panjangpun menyedot perhatian bamyak pihak, bahkan mengaburkan kasus-kasus yang lebih penting di negeri ini.

Saat keputusan hakim di ketuk, Ranti juga memutuskan untuk meninggalkan Denpasar dan menetap di Solo, kota yang sangat jauh dari asalnya. Hari raya Galungan dan Kuningan juga tidak membuat Ranti pulang ke rumahnya. Namun sekarang, email dari mama mau tidak mau memaksa Ranti pulang ke Denpasar.

Dua hari kemudian Ranti sampai di Denpasar, dari bandara dia langsung ke rumah sakit Sanglah tempat papanya dirawat. Papanya tampak kurus dan pucat, berbeda jauh dengan saat dia meninggalkannya enam tahun lalu.

"Pa, ini Ranti sudah datang!" kata mama Ranti sambil mengusap lembut lengan suaminya. Pak Surbakti membuka matanya, saat pandangannya bertemu dengan Ranti dia berusaha tersenyum walaupun sangat sulit. Ranti mencium tangan papanya dan duduk di samping ranjang yang ditiduri pak Surbakti.

Sampai sore Ranti berada di rumah sakit menemani papanya. Ketika candikala berlalu dia diinta pulang untuk beristirahat. "Jangan lupa sembahyang di sanggah Ran! Sudah lama kamu tidak ngejot!" pesan mama Ranti sebelum dia berlalu.

Setelah sembahyang di sanggah, Ranti masuk ke kamar yang dulu dia dan Yanti tiduri saat remaja. Kamar denga dua ranjang, dua almari dan satu meja rias yang harus dibagi berdua. Sekarang kamar ini menjadi miliknya pribadi, sebuah impian yang pernah tersirat di benaknya saat remaja dulu. Ranti menghela nafas panjang, dia rindu saat-saat masih bersama Yanti. Dia dan Yanti terlahir sebagai gadis kembar identik, kalau saja Yanti tidak memakai kacamata tentu orang tidak bisa membedakannya. Tapi secara itelegensi, Yanti lebih pandai dari dirinya. Ranti merasa sangatlah lelah hari ini hingga dia tertidur sebelum sempat makan malam.

DONG.... DONG..... DONG.... Suara jam dinding berdentang dua belas kali, menggema di dinding-dinding rumah. Jendela kamar Ranti yanh tertutup rapat tiba-tiba terbuka seperti didorong kekuatan dari dalam. Ranti tergagap dan terbangun dari tidurnya. Rupanya dia lupa menutup jendela kamarnya, perlahan dia beringsut dari ranjang yang ditidurinya. Samar-samar dia melihat gundukan seperti ada yang meniduri ranjang yang biasa Yanti tiduri. Ranti mengucek matanya, dan saat dia membuka mata yang kedua kali dia tidak apapun di ranjang Yanti. Perlahan dia beringsut dan menutup jendela yang terbuka lebar.

Jendela telah tertutup, tapi rasa kantuknyapun menghilang. Ranti keluar kamar menuju dapur dia merasa haus sekali. Di meja makan Ranti bertemu dengan mbok Kadek pembantu yang merawatnya dari kecil. "Konden pules Geg?"* tanya mbok Kadek sambil menyuapkan sirih ke mulutnya. "Sudah Mbok! Tapi terbangun, lupa nutup jendela tadi. Ken ken kabar Mbok Kadek? Adi sing taen nelpon tiyang?"** tanya Ranti sambil menarik kursi dan duduk di samping mbok Kadek.

Mereka berbincang dengan akrab, dan mbok Kadek seperti dulu saat Ranti masih remaja selaluenceritakan hal-hal lucu kepadanya. " Tadi Mbok kana sih? Kok baru kelihatan? Aku pikir Mbok sudah pulang ke Seririt karena nggak ada kami lagi di rumah!" kata Ranti merajuk sambil menggelendot di bahu mbok Kadek. Mbok Kadek hanya tertawa, "Geg, inget Regita to? Dia bunuh diri di selnya enam bulan setelah vonis dijatuhkan. Mungkin Ranti menemuinya di penjara dan mengungkapkan sebab kematiannya!"

" Aku di sini Mbok! Maksud Mbok Kadek Yanti yang menemuinya kan?" kata Ranti terbata-bata. Mbok Kadek menatap tajam mata Ranti, "Ranti yang menemuinya, Yan! Ranti yang mati bukan kamu! Dan Ranti sudah menemuiku sebulan setelah kematiannya!" jawab mbok Kadek tegas.

"Mbok Kadek ini mengigau ya? Aku Ranti mbok Ranti... Yang meninggal itu Yanti!" Ranti berteriak di depan mbok Kadek. Seumur hidup baru kali ini dia meneriaki mbok Kadek yang telah merawatnya dari bayi.

Mbok Kadek menyeringai, kemudian dia bangkit dari duduknya dan memegang tangan Ranti dengan kuat. Setengah menyeret Ranti, mbok Kadek membawanya ke kamar tempat mereka dibesarkan. Di depan cermin meja rias, mbok Kadek mendudukkan Ranti dengan kasar, " Lihat wajah di dalam cermin itu! Dia tidak akan berbohong! Katakan padaku, wajah siapa itu?" Cermin itu memantulkan seraut wajah milik Ranti, tapi berkali-kali mbok Kadek menyangkal dan mengatakan wajah iti adalah wajah Yanti.

"Kamu bisa membohongi orang lain tapi tidak denganku Geg! Aku yang merawatmu dari bayi dan aku tahu apa yang menyebabkan kamu melakukan hal itu! Kamu cemburu dengan Ranti kan? Kamu merasa orang tuamu lebih menyayangi Ranti daripada kamu! Kamu salah Geg!" seru mbok Kadek dengan suara tertahan.

"Aku Ranti... Aku Ranti, aku bukan Yanti!!! Mbok Kadek sudah gila mengatakan aku Yanti, aa buktinya kalau aku Yanti? Apa Mbok bisa membuktikan?!" Ranti berteriak histeris sambil meronta mencib lepas dari cengkeraman wanita tua itu.

BRAAAKKK!!! Lampu gantung yang menghiasi bale tengah mendadak jatuh padahal tidak ada angin yang menerpanya. Pintu-pintu di rumah tua berarsitektur Bali kuno itu membuka dan menutup dengan sendirinya. Muka Ranti memucat, mendadak dia merasakan kehadiran saudari kembarnya di ruangan yang sama dengannya. Kakinya sangat lemas dan dadanya berdebar kencang bahkan dia bisa mendengar suara degup jantungnya sendiri.

Dan saat dia menoleh pada mbok Kadek, dia melihat wajah mbok Kadek yang meleleh seperti lilin naga yang selalu dibakar orangtua nya saat malam tiba. Dan di balik lelehannya Ranti melihat seraut wajah lain, wajah Yanti. Suara tawa mengikik bersahut-sahutan terdengar memekakkan telinga Ranti. Ranti menjerit saat sosok mbok Kadek atau Yanti itu mendekatinya. Dia berlari keluar kamar, tapi dimana-mana dia bertemu demgan sosok Yanti dan mbok Kadek.

"Mau kemana Yanti? Kembalikan identitasku! Kembalikan identitasku! Kamu yang bertanggung jawab atas kematianku, sekarang waktunya kamu menjelaskan semuanya! Yanti... Jangan lari! Kembalikan identitasku!" suara itu menggema di seantero ruangan. Ranti menangis melolong-lolong, dia sangat ketakutan kakinya sangat lemas hingga tak mampu berlari lagi. Dia menyeret tubuhnya dengan pantatnya, mencoba menghindari sosok Yanti dan mbok Kadek.

"Ampun... Ampuni aku!! Aku menyerah, aku mengaku aku bukan Ranti aku Yanti! Aku cemburu padamu Ran! Mama dan papa lebih mencintai kamu darpada aku, mereka membuangku ke Malaysia sedang untukmu mereka buang uang dengan mengirimmu ke Amerika? Sejak kecil mereka lebih menyayangimu daripadaku. Aku yang membunuhmu! Ya... Aku yang membunuhmu ! Aku yang memasukkan ricin dalam obat alergimu. Aku tahu kapan racun itu bereaksi karena itu aku menyuruhmu menggantikanku datang ke reuni SMA. Aku tidak mau melihatmu mati di hadapanku. Dan tentang Regita, bukan salahku kalau akhirnya dia di penjara karena kematianmu. Aku senang kamu mati Ranti, jadi aku bisa menggantikanmu menjadi anak kesayangan mama dan papa!" Yanti meracau tak karuan dengan suara parau.

"YANTI!!" suara ibu Surbakti menggelegar mengagetkan Yanti. Di ambang pintu tampak ibu Surbakti memapah suaminya yang masih terlihat lemah. "Akhirnya kamu mengaku juga, tapiengapa harus menunggunenam tahun? Kami sudah tahu siapa yang meninggal saat kami memandikan mayat Ranti. Mungkin kamu tidak tahu kalau saat di Amerika Ranti melakukan operasi usus buntu karena engkau memutuskan hubungan dengannya sejak kamu kuliah di Malaysia!" kata bu Surbakti lirih.

"Mama? Mama tahu?" tanya Yanti tercekat. Pak Surbakti memandang Yanti dengan pedih, kilatan marah bercampur luka jelas terlihat di matanya. "Geg, kami diam bukan karena kami tidak tahu. Kami hanya takut kehilangan satu anak lagi setelah kematian Ranti. Tapi kematian Regita menyusul Ranti dengan cara menggantung dirinya di kamar mandi sel tempat dia di penjarakan membuatku terpukul. Apalagi saat mbok Kadek juga meninggal setelah berkali-kali kerauhan** Kami hanya menunggumu mengaku saja, karena dengan pengakuanmu kami bisa melepas abu Ranti ke laut."

Yanti menangis tanpa suara, dia tidak mampu bangkit dari duduknya. Semua sudah selesai, kebohongan yang dia simpan selama enam tahun sudah terbongkar. Jam masih menunjukkan pukul tiga lebih empat pukuh lima menit, tiba-tiba Yanti tersadar bagaimana orangtuanya bisa keluar dari rumah sakit? Bukankah jam operasional baru mulai jam tujuh?

"Kenapa Yan? Kamu mama ada di rumah? Kamu lupa direktur rumah sakit Sanglah itu pamanmu? Semua sudah di urus pamanmu, sudahlah! Bangunlah besok kita selesaikan semua persoalan kita. Mama urus papamu dulu ya!" kata bu Surbakti seakan tahu apa yang di pikiran Yanti. Yanti masih terpana merenungi kejadian demi kejadian yang baru saja dia alami. Besok semua harus selesai, Yanti akan menyelesaikan semuanya.

Keesokan harinya saat bu Surbakti membuka kamar anaknya, dia menjerit melihat Yanti tergolek dengan tangan terpotong. Darah masih menetes dari pergelangan tangannya. Tubuhnya mulai mendingin sementara di kursi depan meja rias duduk sesosok berbaju putih yang tak dihiraukan bu Surbakti.

"[caption caption="Fiksi horor dan misteri"][/caption]Cepatlah Yanti! Sudah terlalu lama aku menunggumu. Kita datang ke dunia bersama dan kita pergi pun bersama pula!" bisik sosok itu pelan.

 

Tulisan ini diikutsertakan dalam event Fiksi Horor dan Misteri group Fiksianan Community

#poeds 260916

Catatan :
Geg >> penggalan dari kata jegeg yang merupakan panggilan sayang buat anak perempuan di Bali.
* >> Belum tidur nak
**>> Bagaiman kabarnya mbok? Kenapa nggak pernah menelpon saya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun