Aku mulai bertanya- tanya dalam hati ada apa dengan diriku ini. Dan memutuskan untuk mencari tahu, karena sebagai perempuan aku juga ingin merasakan berumah tangga dengan normal. Atau setidaknya aku pernah merasakan lelaki dengan utuh bukan hanya dari cerita teman-temanku. Aku pulang ke Solo dan menemui budhe Sri untuk menanyakan kembali pertanyaannya sembilan tahun yang lalu.
Budhe Sri menatapku lekat-lekat saat aku menceritakan perjalanan hidupku sepanjang sembilan tahun belakangan ini. " Kenapa baru sekarang, Nduk? Harusnya setelah korban pertama kamu kemari! Sini Nduk dengar baik-baik! Kamu itu titisan Dewi Citrasari yang sangat di cintai Raden Gandarwa Kurawa raja Gandaruwa. Beliau tidak mau di duakan dengan lelaki lain, jadi beliau akan membunuh siapapun yang akan menidurimu. Kamu paham ini!" tanya budhe Sri.
"Darimana Budhe tahu?" tanyaku penasaran. Budhe Sri menghela nafas panjang dan membelai rambutku. "Nduk, kamu ingat waktu siraman sembilan tahun yang lalu? Saat kamu membuka bajumu aku melihat tanda lahir di bahu kirimu. Ada cekung di tengah tompel yang ada di bahumu. Itu tanda bahu laweyan Nduk! Kamu perempuan dengan bahu laweyan, perempuan yang di cintai raja Gandaruwa. Terimalah takdirmu Nduk! Cukup jangan ada korban lagi!"
Namaku Menur, aku perempuan modern tapi masih memegang adat Kejawen yang kental. Aku perempuan yang terpaksa menerima takdir sebagai perempuan bahu laweyan. Setiap Kajeng Kliwon suamiku, Raden Gandarwa Kurawa mendatangi dan memanaskan malamku dengan nafsu yang paling tinggi. Namaku Menur, maukah kau menjadi selingkuhanku???
#poeds 170916