Mohon tunggu...
sari rachmah
sari rachmah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Comunity writer di IDN , kaskuser, medium, kompasiana, blogger

nature enthusiast, book lover

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Pilihan

Krisis Transportasi Publik di Bojonggede: Prasarana Itu Penting, Tapi Etika Juga Perlu

24 Januari 2025   09:52 Diperbarui: 24 Januari 2025   09:59 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
situasi jalanan Bojonggede (detiknews)

Tahun 2011 pertama kali saya menginjakkan kaki di bumi Bojonggede, kabupaten Bogor. Untuk pertama kalinya, setelah saya sekian tahun besar di Bandung, merasakan atmosfer yang berbeda, dimana saya merasakan serba kesulitan saat berhadapan dengan jalan. Di desa Bojonggede yang kala itu masih terasa nuansa hutan belantara, dimana saya masih melihat banyak pohon bambu, rayap-rayap yang sering bertamu ke rumah sehingga furniture kayu banyak yang roboh dimakan rayap, tikus-tikus besar yang merajalela menguasai setiap rumah, juga aspal jalan yang lubangnya besar-besar dan tersebar merata.

Lalu, mengapa saya memilih tinggal disini? Saya kira alasan saya tinggal disini tak akan jauh berbeda dengan alasan orang-orang luar daerah yang merantau ke sini, karena dekat rel kereta. Kami para perantau memiliki visi yang sama, yaitu mencari strategi transportasi yang murah dan cepat untuk mencapai tempat kerja kami yang tersebar di Jakarta, Bogor, Depok dan sekitarnya.

Untuk pertama kalinya saya berkendaraan di Bojonggede saat itu selalu kesulitan dengan aspal jalan yang belubang besar, batu-batu besar yang entah datangnya dari mana dan angkot-angkot yang ngetem sembarangan atau sering juga mendadak menurunkan penumpang di belokan, belum polusi udara dari jalanan yang kasar dan berdebu. Sungguh, kami tak kekurangan transportasi apapun di sini, ada kereta, bus, kendaraan pribadi, apalagi angkot sudah tak bisa dihitung dengan jari, kami hanya kekurangan etika dalam berlalu lintas. Tapi, kami tak bisa melakukan apapun dengan hal itu, jadi kami lebih memilih untuk bersabar.

Namun, itu dulu. Sekarang? Masih sama. Perbedaan Bojonggede dahulu dan sekarang adalah lubang-lubang besar aspal di jalanan sudah jauh lebih baik, beberapa jalan sudah dicor sehingga lebih awet dan tahan lama, juga tak mudah berlubang. Sebagian lagi masih menggunakan aspal sehingga lebih mudah berlubang, apalagi truk-truk besar sering juga melewati area kami tinggal pada malam hari atau jam tiga subuh. Tak jarang, masyarakat akhirnya merogoh kocek sendiri untuk patungan membenahi jalan-jalan kami yang berlubang.

Soal kemacetan, ooh jangan ditanya, sebab itu sudah seperti obat dokter yang harus dimakan 2 kali sehari tiap pagi dan sore. Selain masalah jalanan yang berlubang, kurangnya etika berlalu lintas, krisis transportasi publik di daerah kami masih berkutat dengan kemacetan, terutama pada pagi dan sore hari. Jalanan di Bojonggede, jika mau saya bandingkan dengan jalanan di kampung halaman saya di Bandung, lumayan sempit dan kurang lebar. Bisakah dibayangkan dengan jalan yang sempit, pada pagi hari di jam yang sama, semua orang berbarengan keluar rumah dengan tujuan sekolah, kantor, kampus, belum ditambah angkot-angkot yang ngetem sembarangan semakin mempersempit space jalan. Sore hari berlaku hal yang sama, masih di jalan yang sama, etika berlalu lintas yang sama dan pulang dari kantor, sekolah, kampus di jam yang sama.

Menariknya, desa Bojonggede dilewati lintasan kereta dan kami para pengendara yang terdiri dari motor, mobil, truk hingga bus setiap pagi hari dan sore, menyeberang lintasan kereta dengan situasi yang crowded, macet, dan pada beberapa kasus pernah terjadi ban motor selip karena lintasannya licin sehabis hujan. Selain  jantung yang berdebar-debar dan suara klakson yang bersahutan, kami hanya bisa berdoa semoga kereta tak cepat datang saat situasi tak terduga seperti ban motor selip di perlintasan kereta, mobil mendadak berhenti, dan lain sebagainya. Tapi, mau bagaimana lagi, mau tak mau kami harus menyeberang lintasan kereta menuju sekolah, kantor, dan kampus maupun pasar terdekat.

Saya kira sarana dan prasarana itu penting, tapi etika lebih utama. Sebab, ketika sarana dan prasarana lalu lintas sudah lebih baik, maka hanya etika suatu komunitaslah yang mampu menjaganya sehingga keselamatan, keamanan berlalu lintas tetap terjaga. Juga, walaupun sarana dan prasarana belum lalu lintas belum baik, paling tidak etika yang baik dari para penggunanya tidak akan memperumit situasi yang kurang baik tersebut. Mengutip kata-kata Potter Stewart, “Ethics is knowing the difference between what you have a right to do and what is right to do.” Maksudnya, orang yang memiliki etika mampu membedakan mana yang hak sekaligus boleh dilakukan dan mana yang benar untuk dilakukan.

Referensi gambar:

https://news.detik.com/berita/d-7083564/viral-macet-di-stasiun-bojonggede-dishub-bogor-bakal-siagakan-anggota

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun