Selepas menghadiri undangan Kepala Dinas Pariwisata Bandung Barat di acara 'Festival Soto Nusantara' di Bale Pare, mobil kami meluncur tersendat di jalan Padalarang yang macet siang itu.Â
Kami menuju satu destinasi di daerah ini yang tengah naik daun, Stone Garden. Setelah keluar dari jalan utama, mobil kami memasuki jalan kerikil. Tiba-tiba ada warga desa yang menghentikan mobil kami. Laki-laki itu mengetuk kaca mobil dan menyodorkan kertas kecil. Setelah melewati mereka, kolega saya mengeluarkan uneg-unegnya, "Mestinya sudah tidak ada retribusi tidak resmi seperti  ini, sebelum puasa kemarin sudah beres! Kan nanti di depan ada petugas resmi yang minta uang parkir".
Siang itu sangat terik. Gundukan kelapa hijau di depan warung-warung kecil di jalan setapak setelah gerbang kecil bertuliskan 'Stone Garden' seakan memanggil-manggil. Ibu pemilik warung di depan kami pun ikut memanggil dengan dialek Sunda yang ramah. Kami pun memutuskan minum kelapa muda. Kelapa disajikan langsung dari batoknya beralaskan piring. Kelapa muda di sini benar-benar menyegarkan siang yang terik sambil kami sibuk mengerik daging kelapa muda.
Di  depan gubuk tempat pembelian tiket masuk, gadis-gadis remaja menyapa dengan ramah. Kami pun lanjut menapaki jalan menanjak menuju Stone  Garden ditemani Pak Sukmayadi, perintis dibukanya wisata Stone Garden  dan yang menggerakkan warga desa untuk mau mengelola Stone Garden dan belajar online marketing.
Sambil berjalan ke jalan yang makin menanjak, Pak Sukmayadi menjelaskan tentang sejarah Stone Garden. Mengapa dinamai Stone Garden? Karena kelebihan tempat ini memang dipenuhi batu-batu besar yang mengingatkan saya akan Stone Henge di Inggris. Mungkin  agak sulit diterima nalar, batu-batu besar di Stone Garden ini adalah batu fosil jutaan tahun yang dulunya adalah dasar laut. Ini mengingatkan saya  akan daerah dataran tinggi di Papua yang ditemukan beberapa peninggalan  yang menunjukkan daerah itu pernah menjadi dasar laut. Inilah bukti  Jaman Es benar-benar pernah ada.
Sebelum tempat ini menjadi  destinasi wisata, mata pencaharian warga setempat adalah penambang  batu-batu tersebut. Entah apa jadinya jika mereka terus mengambil batu-batu yang bernilai sejarah. Kita akan kehilangan bukti peninggalan pra sejarah dari Jaman Es dan juga kemungkinan lingkungan yang rusak.
Mengubah cara berpikir warga desa dan mengajarkan mereka wirausaha dan online marketing tentunya bukan  semudah menjentikkan tangan. Dua tahun yang lalu YoExplore, social enterprise yang bergerak di bidang pariwisata, mendekati warga  desa yang visioner dan mau berjuang bersama.Â
Kini Stone Garden  telah menjadi destinasi wisata yang naik daun di Bandung Barat.  Kebanyakan turis memang ke sana untuk berfoto karena Stone Garden memang  instagramable.
Salah  satu masalah yang biasanya timbul saat satu desa wisata sukses adalah,  ada warga lain yang mengalami kecemburuan sosial, karena tidak mendapatkan keuntungan dari berkembangnya Stone Garden sebagai destinasi wisata yang ramai. Seperti yang saya  ceritakan di awal tulisan, mereka mengambil retribusi ke turis, padahal di dalam sudah  ada penarikan retribusi resmi dari Stone Garden.
Begitulah,  susahnya mengubah cara berpikir manusia. Saat diajak berubah mereka menolak,  saat yang diubah sudah berhasil, mereka iri. Semoga makin banyak  orang-orang seperti Pak Sukmayadi yang visioner dan mau berjuang  memajukan desa yang punya potensi wisata dan berkolaborasi dengan  social enterprise seperti Yoexplore. Ke depannya untuk lebih banyak orang yang terlibat memajukan pariwisata Indonesia, YoExplore sedang mengembangkan aplikasi yang memberdayakan orang yang ingin berwirausaha di bidang pariwisata dan gaya hidup. Saat ini masih ada beberapa desa yang dibina menjadi desa  wisata dengan pelatihan kewirausahaan dan online marketing
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H