Bagi banyak orang, pernikahan adalah moment bahagia atas menyatunya dua insan yang berbeda. Dikeluarga saya, menikah adalah komitmen dalam keluarga.Â
Saya setuju akan hal itu. Bagi saya, menikah merupakan sebuah hubungan yang komplek dalam kehidupan sosial. Ketika kita sudah menikah, kita harusnya mampu beradaptasi karakteristik pasangan dan keluarga yang akan dibina.Â
Belum lagi jika mereka mempunyai anak. Saat mempunyai anak, orang tua akan melakukan apapun demi kesuksesan bagi anak mereka. Walaupun memang tidak segampang apa yang kita pikirkan.Â
Disaat kita kecil, kita terus diajarkan nilai-nilai Agama, budaya, dan juga sosial. Itu diajarkan sedari kecil untuk membentuk karakteristik anak nantinya. Namun apa yang kita ajarkan diinginkan bagi anak tersebut?Â
Pada saat sekolah dulu, saya diberikan saran orang tua saya untuk menjadi pendeta. Wajar saja, karena latar belakang keluarga saya sangat religius. Namun saya menolaknya dengan mentah-mentah.Â
Bagaimana tidak? Saya selalu menyukai hal yang berbau duniawi. Munkin tidak semua orang menyukai cara pikir saya.Â
Namun orang tua saya tetap menyarankan saya untuk tetap berdoa apapun yang terjadi, senang ataupun sulit. Mereka selalu mendengarkan apa yang saya pikirkan. Itulah kenapa saya bangga dengan mereka walaupun cara pikir dan tindakan saya selalu aneh.Â
Ketika pada saat di gereja pada saat natal, saya disamperin salah satu kerabat. Biasalah, jika sesama orang batak sudah berkumpul, obrolan sudah pasti panjang. Namun kerabat ini menanyakan sebuah pertanyaan yang cukup familiar.Â
Bere, kamu sudah punya pacar atau gimana? -ujarnya. Bere diartikan panggilan dari orang tua kepada anak yang lebih muda. Istilahnya seperti paman dan keponakan. Saya cuma diam tak mau menjawab. Â Â
Bere, kalau bisa cari pasangan yang berasal dari suku batak dan beragama Kristen. -ujarnya. Dalam hati saya langsung berkata: terserah saya lah, mau dia manusia, mau nikah sama siluman, ataupun pohon pisang itu terserah saya.Â
Sebagian orang pasti pernah mengalami moment seperti ini. Bagi orang batak, pernikahan sebuah peristiwa sakral dalam keluarga. Pernikahan ini sebagai awal untuk meneruskan adat yang sudah ada. Apalagi jika mempunyai anak. Anak bagi orang batak sebagai penerus nama keluarga (marga).Â
Namun akhir-akhir ini, saya sering berdiskusi dengan kawan sebaya. Dia berkata bahwa saya cukup enak dalam menentukan identitas. Ia berkata orang tua ku dua-duanya berasal dari suku dan agama yang sama.Â
Sedangkan ia berasal dari perpaduan dari suku Batak dan suku Jawa. Saat ia pulang ke Siantar, ia selalu dibilang orang Jawa. Begitu pula saat dia dirumahnya Surabaya, ia selalu dibilang orang Batak.Â
Sebenarnya ia mengatakan hal itu dengan nada bercanda. Namun perkataannya membuat saya berpikir keras.Â
Disuatu moment, saya bertanya kepada orang tua saya dalam perspektif mereka. Mama saya sebenarnya tidak terlalu memberatkan bahwa ia harus berasal dari suku mana. Tapi ia selalu mengatakan kepada anak-anaknya bahwa mencari pasangan harus berasal dari agama Kristen.Â
Ia mengatakan berasal dari satu golongan saja bisa bertengkar hebat ataupun bercerai. Apalagi yang berbeda latar belakang. Mendengarkan penjelasan tersebut, Saya langsung berkata cukup logis.
Namun bapak saya sendiri mempunyai punya cara pikir sendiri. Ia tidak bisa membatasi pilihan anak-anaknya. Namun Ia menegaskan dua hal. Pertama, anak-anaknya harus bertanggung jawab atas pilihannya. Yang kedua, pasangan kalian harus bisa akrab dengan saudara-saudara kalian.Â
Dari sinilah saya bisa memahami. Ada faktor-faktor tertentu dalam mengambil pilihan dan keputusan. Salah Satunya pernikahan. Banyak orang yang menikah berdasarkan desakan lingkungan sosial.Â
"Wah, orang itu umur 30 koq belum nikah?". Atau yang lebih ekstrim bisa seperti ini, "dia koq umur 19 tahun koq sudah nikah? Pasti dia sudah bunting? "
Pernyataan-pernyataan tersebut menjadi keresahan banyak orang dalam menjalin hubungan. Masyarakat Indonesia sendiri banyak yang menganggap pernikahan sebuah puncak tertinggi dalam kehidupan. Namun banyak orang menikah dengan berdasarkan gengsi.
Banyak perdebatan orang yang memilih menikah muda ataupun menikah tua. Faktor-faktor penentu seperti lingkungan, finansial, psikoligis, dan sebagainya dalam menentukan apakah kita akan menikah ataupun tidak.Â
Bagi saya, pernikahan bukan hanya menyatukan dua insan yang berbeda. Namun pernikahan mampu menyatukan dua keluarga yang berbeda. Selain penyatuan tersebut, pernikahan adalah sebuah kehidupan kita bersama orang lain.Â
Yah mungkin pembaca akan menilai, cara pikir saya terlalu cepat untuk menilai hal itu. Karena pernikahan mempunyai moment-moment tertentu yang  tidak bisa diungkapkan bagi orang yang sudah menikah.Â
Teman sebaya saya sudah banyak yang lebih dulu menikah. Ada yang menikah karena desakan keluarga. Ada yang menikah karena sudah terjadi "kecekakaan". Namun ada yang menikah karena sudah matang dalam kesiapan mental ataupun finansial.Â
Terlepas dari alasan menikah itu benar ataupun salah, saya mengapresiasi terhadap orang sudah lebih dulu menikah dibandingkan saya. Karena mereka lebih dulu merasakan sulitnya dalam menentukan pernikahan dan membangun keluarga.Â
Sardo Sinaga.Â
09 September 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H