Mohon tunggu...
Sardo Sinaga
Sardo Sinaga Mohon Tunggu... Freelancer - IG: @raja_bodat

Pecinta Sejarah dan Ilmu Budaya. Pemula. Menulis Apa Saja Yang penting Tidak Melanggar Hukum.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Budaya Membaca pada Masyarakat Indonesia

9 Oktober 2020   17:30 Diperbarui: 10 Oktober 2020   02:42 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Wallace Chuck dari Pexels

Mungkin kalau kita bertanya kepada orang-tua kita tentang buku, jawabannya pasti adalah jendela dunia. Bagi mereka, buku adalah sumber dalam mencari informasi. Sehingga ada pepatah mengatakan belajarlah hingga ke negeri Cina. Pepatah itu tidak main-main dikarenakan sejak masa kekaisaran China masih berjaya, buku yang masih berbentuk gulungan sebagai acuan dalam sistem Pendidikan saat itu.

Hal itu masih diteruskan sampai sekarang. Tidak heran bahwa negara China sebagai salah satu tingkat melek huruf saat ini. Bisa dibilang bahwa negara tersebut mampu menyaingi negara sekelas Amerika Serikat dalam tingkat pendidikan, literasi bahkan ekonomi.  

Bukan hanya China, negara komunis Kuba juga menjadi yang tertinggi didunia. Mengutip dari Tirto.id (Cara Komunis Kuba Berantas Buta Huruf. Oleh: Tony Firman - 23 November 2018) tingkat melek huruf yang dicatat oleh UNESCO pada tahun 2015 sekitar 99,8%

Angka yang sangat tinggi bagi negara Kuba bahkan internasional. Hal ini dipengaruhi oleh pemimpin Kuba saat itu Fidel Castro berkampanye dalam sidang PBB untuk memerangi buta huruf. 

Ia memberlakukan setiap buruh dibekali dan diwajibkan membaca dua buku setiap hari. Selain mewajibkan para buruh mebaca dua buku, ia memfasilitasi sekolah gratis dan mewajibkan siswanya membaca buku. Bahkan pemuda yang berumur 15 sampai 24 tahun mencapai 100% melek huruf. Jika kita melihat data, tidak semua negara mempunyai angka tersebut.

Namun bagaimana dengan Indonesia? Dari sumber UNESCO melalui kominfo.go.id (Teknologi Masyarakat Indonesia: Malas Baca Tapi Cerewet Di Medsos. Oleh Evita Devega) tingkat membaca berada diposisi 60 dari 61 negara yang disurvei. Dari angka ini bias dilihat seberapa besar tingkat membaca di negara Indonesia.  

Ada beberapa faktor dalam pengaruh tingkat membaca seseorang, salah satunya teknologi. Pada zaman dulu, teknologi tidak secanggih dan secepat sekarang sekarang. Sebelum masuk pada tahun 2000-an, teknologi masih sangat terbatas. Seseorang ingin mencari informasi hanya melalui buku, koran, dan televisi, itupun tidak semua orang memiliki televisi.

Dari sini kita bisa melihat istilah "buku adalah jendela dunia" sebagai alat memperkaya diri. Namun dizaman sekarang, teknologi yaitu HP bisa menjangkau segala golongang. Baik yang kaya atau miskin, tua ataupun muda bisa mencari akses yang mereka inginkan. 

Rata-rata masyarakat Indonesia menjadikan teknologi seperti HP dan Televisi sebagai sarana hiburan setelah melakukan aktivitas mencari uang ataupun sekolah. Namun untuk menggali informasi lebih lanjut sering diabaikan karena berbagai alasan. Inilah kenapa masyarakat Indonesia sering terhasut oleh berita hoax ataupun berita palsu. 

Internet diibaratkan sebuah kawasan zona bebas yang semua orang bisa jalani, terlepas cara yang benar atau salah dalam penggunaan teknologi tersebut. Kelebihan dari teknologi, orang bisa mudah dalam mencari informasi ataupun berita. 

Banyak ilmu yang bisa didapat dari internet seperti sains, filsafat, sastra, ataupun bisa berkarya melalui platform youtube, kompasiana, dan sebagainya. Dengan adanya internet kita bukan hanya mencari informasi, tetapi setiap orang mampu menjadikan internet sebagai sumber penghasilan. Namun informasi yang beredar didunia maya bisa menjadi hoax atau berita palsu.

gambar diambil oleh pemilik akun twiter @sheknowshoney
gambar diambil oleh pemilik akun twiter @sheknowshoney
Gambar diatas merupakan salah satu gambar yang diedit dengan aplikasi photoshop. Makanan yang bernama babi saksang memang ada karena makanan tersebut makanan khas suku Batak. Pihak dari perusahaan PT.Indofood sendiri mengkonfirmasi tidak mengeluarkan produk tersebut. 

Jika kita melihat lagi, kasus kue klepon pun juga terkena imbas dari berita hoax yang mengatakan kue tersebut tidak islami. Secara bentuk dan warna memang tidak terlihat islami, namun komposisi kue tersebut murni halal. Hal ini telah dikonfirmasi dari kominfo ataupun pihak ulama bahwa berita tersebut adalah berita hoax ataupun palsu.

Inilah sebab index dari angka membaca di negara Indonesia sangat rendah dibandingkan negara lain. Sangat berbeda dengan orang-tua zaman dulu yang berargumen bahwa buku adalah benda yang sangat sakral. 

Anak-anak zaman dulu termasuk penulis opini ini didoktrin habis-habisan oleh orang-tua bahwa buku adalah sumber pengetahuan. Internet pun sebenarnya sama dengan buku. 

Dua platform tersebut merupakan salah satu alat manusia sebagai penunjang hidup. Namun banyak dari orang-orang memanfaatkan alat tersebut untuk tujuan-tujuan tertentu yang belum tentu bisa dipertanggung-jawabkan. Penulis menyarankan kepada pembaca untuk bijak dalam menggali informasi.

Opini Ditulis Oleh:

Sardo Sinaga, 09 Oktober 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun