Para penggemar sepak bola pasti ingat, saat striker Chelsea Dider Drogba bersama rekannya mengajak hentinya perang di Pantai Gading. Legendaris dan punggawa Pantai Gading tersebut nyaris gagal membawa negaranya untuk berkompetisi pada piala dunia 2006. Perang saudara yang terjadi di negaranya sekitar tahun 2002 dan 2005 itu hampir saja membatalkan The Elephants ikut serta piala dunia 2006 di Jerman.
Dalam kesempatan perayaan lolosnya negara mereka ke piala dunia untuk pertama kalinya, Dider Drogba CS dan generasi emas itu memohon dan 'berlutut' agar menghentikan perang saudara itu. Walaupun mereka tidak lolos fase grup, berada di peringkat 3 grup, Drogba menorehkan catatan untuk menghentikan gencatan senjata. Terlalu jauh mungkin mengenang Drogba CS, para pengemar bola pasti mengigat bagaimana reaksi klub-klub dunia saat adanya perang antara Rusia dan Ukraina.
Bahkan FIFA pun melarang Rusia untuk berpartisipasi dalam piala dunia 2022. Padahal piala dunia sebelumnya tahun 2018 merekalah yang menjadi tuan rumah. Sikap UEFA dan FIFA menunjukan bahwa sepak bola punya perhatian pada kemanusian. Itulah mengapa sepak bola seperti tragedi tragis dan saat bersamaan adalah tragedi manis'.
Apa Pelajarannya Untuk Kita?
Sepak bola selalu menyirat tragedi kehidupan manusia. Sebagai pengemar Nietszche saya selalu suka menyebarkan pemikirannya. Filsuf yang di cap ateis itu juga menulis satu buku yang berkisah tentang tragedi. Walaupun ia menulis tragedi dan hubungannya dengan kesenian, Ia menjelaskan bahwa 'tragedi adalah ekspresi dari kegembiraan alamiah dan kegembiraan akan kematian". Ini seperti menunjukan bahwa bola adalah serangkain tragedi yang 'harus' dibaca lebih, 'ada kegembiraan alamiah dan juga kegembiraan kematian'.
Sebagai tragedi, sepak bola itu mengikat emosi massa. Mengapa? Alasannya sepak bola selalu memiliki ikatan dengan massa. Kita sepakat untuk menyebut massa tersebut ialah suporter, fans-fans klub.
Suporter sesungguhnya adalah pribadi yang tidak saling kenal, tapi mereka diikat oleh satu identitas tertentu. Misalnya penggemar Barcelona disebut culler, atau pendukung Arsenal, the Guners. Julukan tersebut mengikat dan menjadi identitas baru penggemar klub sepak bola.
Resikonya ketika klubnya kalah, para suporter inilah yang biasanya menjadi benteng paling depan untuk menjaga martabat tim. Nah, salah satu fenomena tragedi 'sial' yang telah saya sebutkan sebelumnya adalah rangkai peristiwa yang kebanyakan dipengaruhi amarah penonton atau suporter tersebut.
Saya tidak ingin menyebut bagaimana peristiwa ricuh antar suporter dalam sejarah sepak bola di negeri kita. Sudah sangat banyak diuraikan di media massa. Hampir setiap ada pertandingan, keributan entah kecil atau besar selalu mewarnainya. Ini menjadi catatan lain untuk kita kedepannya, menjadi suporter yang etik, elok bermartabat. Para penggemar bola mungkin perlu mawas diri. Dalam mendidik kerumunana massa, 'mendidik suporter atau fans sepak bola' saya tergerak dengan pemikiran Elias Canetti (1905-1904) yang membahas secara komphernesif bagaimana perilaku massa dalam kerumunan.
Menurutnya, seseorang cendrung kehilangan identitas pribadinya ketika melebur dalam massa. Dalam massa biasanya, seorang kehilangan keasalianya dan memiliki kecendrung bertindak dekonstruksi [walau pun kita tidak bisa menutup mata pada konstruksi baiknya]. Mengikuti Budi Hardiman, (Massa, Teror dan Trauma, 2011) massa yang tak terorganisir biasanya cendrung menjadi ladang untuk 'glorifikasi kekerasan'.
Massa, -- suporter -- adalah orang-orang yang menyerahkan kebebasan sebagai individu membiarkan diri dipakai sebagai elemen kekuatan kelompok. Maka hal yang perlu disadari adalah menaggalkan baju fanatisme semu suporter yang bisa membahayakan nyawa manusia. Kendati sepak bola paralel dengan kehidupan manusia, tapi itu tidak pernah membenarkan tragedi tragis yang membahayakan nyawa.