Mohon tunggu...
Fransiskus Sardi
Fransiskus Sardi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Lulus dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Program Filsafat

Follow ig @sardhyf dan ig @areopagus.2023 “Terhadap apa pun yang tertuliskan, aku hanya menyukai apa-apa yang ditulis dengan darah. Menulislah dengan darah, dan dengan begitu kau akan belajar bahwa darah adalah roh” FN

Selanjutnya

Tutup

Bola

Sepak Bola dan Tragedi Suporter

30 September 2024   20:06 Diperbarui: 1 Oktober 2024   05:17 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak ada olahraga yang menyita perhatian publik, jauh lebih intens dibandingkan sepak bola. Sepak bola menjadi cabang olahraga yang paling banyak digemari di bumi. Tidak mengherankan cerita tentang sepak bola selalu menjadi bagian dari sejarah manusia. Bahkan seorang filsuf kenamaan Prancis, Albert Camus (1913-1960) pernah berceloteh 'dalam hal keutamaan dan tanggung jawab, saya berutang dan belajar banyak pada sepak bola'.

Filsuf yang memahami bahwa hidup ini penuh dengan hal-hal absurd pun menimba ilmu dari sepak bola. Masa kita tidak? Camus menekankan bahwa sepak bola menyimpan begitu banyak pelajaran hidup. Di atas lapangan di luar lapangan, sepak bola menjadi sekolah kehidupan.

Sepak bola nampaknya tidak hanya mempertemukan 22 anak manusia di atas lapangan hijau. Ada begitu banyak cerita dibalik sepak bola. Dari nasionalisme, perjuangan, masalah sosial, dan beragam carut marut kehidupan manusia. Sepak bola menjadi sumber refleksi dan permenungan yang tidak akan habis dikuras, tidak akan habis ditimba, bagai sumur yang tak akan kering. Itulah mengapa, seorang penulis trilogi sepak bola, Sindhunata menyebutkan sepak bola mendekati sebentuk religiositas.

Sepak bola bisa menjadi pelajaran untuk olahragawan, pecandu sepak bola, orang beragama dan tak beragama, semuanya, bisa menemukan inspirasi dari permainan bola. Buku Sindhunata, Bola-Bola Nasib (2002) menulis demikian 'bola itu sederhana. Hanya sebentuk kulit bundar saja, tetapi kesederhanaan itu menyentakan suatu hakikat. Tanpa bola tak akan ada keramaian pesta sepak bola, seperti halnya, jika tiada nasib, juga tiada ria kehidupan ini'. Buku ketiga dari sekuel trilogi ini menunjukan paralelisme sepak bola dan nilai kehidupan. Sepak bola dengan lihai 'menelanjangkan' realitas kehidupan manusia.

Saya tertarik untuk membahas bagaimana sepak bola meninggalkan luka dan juga suka. Saya mau mengawali tentang sepak bola di tanah air. Cerita tentang bola di negeri ini, mungkin tidak bisa dipisahkan dengan peristiwa kelam pada 1 Oktober 2022 yang menimpa Aremania dan menjadi kedukaan dunia sepak bola. Kematian ratusan jiwa anak manusia itu seperti menyibakan sisi kelam sepak bola. Slogan 'tak ada sepak bola seharga nyawa' ramai di jagad media.

Laga yang harusnya jadi tontonan asyik dan spotifitas para gladiator di atas lapangan hijau, berubah jadi peristiwa tragis. Lebih dari seratus orang harus menuju keabadian. Dalam keadaan genting demikian, iklim sepak bola Indonesia mesti dibenah, agar tak ada Kanjuruhan lain di tanah air.

Kita juga tidak bisa menutup mata dan telinga dengan gelombang penolakan atas timnas Israel yang hendak berlaga di Indonesia pada piala dunia U-20. Peristiwa ini seolah menyiratkan sepak bola tidak bisa dipisahkan dari intrik politik. Ya, memang sepak bola selalu ada intrik politiknya. Ada cawe-cawe untuk melanggengkan jalan menuju kursi kekuasaan. Hehe, itu terjadi di negeri kita. Menjelang pemilihan umum, narasi dari sisi sepak bola menjadi 'makanan ringan' para calon pemimpin negeri.

Lebih jauh lagi, catatan kelam sepak bola dunia, juga menyisahkan beberapa peristiwa yang menyenagkan sekaligus menakutkan. Ada damai dalam lapangan dan juga saat yang sama ada deritanya. Duka sepak bola mengalir dalam nadi perkembangan si kulit bundar itu.  Cerita pada 24 Mei 1964 saat kualifikasi olimpiade antara Peru dan Argentina misalnya, kerusuhan besar terjadi pasca wasit menganulir gol Peru, gelombang protes suporter dalam kerumunan massa itu menewaskan lebih dari 300-an orang.

Ada tragedi lainnya, sebut saja tragedi Heysel 29 Mei 1985, pada final piala Champion Eropa antara Juventus dan Liverpool yang disebabkan runtuhnya dinding beton yang menimpa suporter. Runtuhnya pagar dan dinding ini juga karena rusuh antar suporter. Tragedi Hillsborough 15 April 1889 karena kerumunana massa. Massa yang berdesakan membuat panik dan meninggalkan banyak korban. Sepak bola juga menyebabkan perang antara Honduras dan El Salvador pada tahun 1969.

Fakta-fakta itu menjadi bukti bahwa fanatisme sepak bola bisa menjadi penyebab kematian massal. Memang sepak bola bukan satu-satunya alasan, tapi setidaknya karena sepak bola itulah juga mayat berserakan. Terlalu memandang buruk sepak bola juga, saya rasa bukanlah hal yang fair. Meminjam Maman Suherman dalam buku 'Re dan Perempuan, (2021)' 'terus membenamkan diri dalam keadaan sial, atau menghargai sekecil dan sesederhana apa pun kelezatan [tontonan sepak bola] itu'.  Dari situlah sepak bola juga bisa dibaca sebagai ladang dan sekolah kebaikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun