Saya tidak pernah bertemu langsung dengan Gus Dur, tidak tahu terlalu dalam tentangnya, tetapi cerita dan kisah inspiratif darinya sering saya dengar sejak belajar di Yogyakarta. Di ruang kelas misalnya, di salah satu mata pelajaran Kebangsaan, Gus Dur menjadi pribadi yang sering dibincangkan. Pengaruhnya untuk kehidupan berbangsa dan bernegara sangatlah besar.
Secara umum, khalayak menyebut Gus Dur sebagai Mantan Presiden ke-4 Republik Indonesia, kaum agamawan menamainya sebagai Kiai Haji toleransi, kaum humanis menamainya sebagai pribadi humanis sejati, pencinta kedamaiaan menyorotinya sebagai pelopor dan pencinta kedamaian, para komedian menjulukinya sebagai Komedian favorite dan selera humor yang tidak pernah lekang oleh waktu, tokoh-tokoh motivator menjadikan Gus Dur sebagai motivator ulung dengan beragam quetos yang nyentrik dan memikat.
Entahlan, mau dijuluki seperti apa pun, Gus Dur adalah pribadi yang punya julukan khas dan selalu diingat setiap saat oleh fansnya. Hal ini menunjukan bahwa sejatinya Gus Dur adalah tokoh yang melampaui segalanya. Integritas, keteladanan, humornya, kelugasaanya dalam berpolitik menjadikan dia berbeda dari yang lain. Dalam perbedaan yang menonjol dan positif itulah Gus Dur menjadi idola baru dari setiap generasi.
Tokoh Kebangsaan yang lahir pada tahun 1940 dan wafat tahun 2009 ini menjadi sosok yang mencintai segala bidang. Sebagai penggemar sepak bola, Gus Dur adalah GG MU dan juga penggemar timnas Brazil maka tak heran ia paham juga sepak bola. Sebagai mantan presiden ia menjadi tokoh yang punya kepedulian pada demokrasi. Korupsi adalah masalah yang ingin diberantasinya. Dalam salah satu wawancara, ia memiliki harapan besar agar korupsi itu harus dilenyapkan, solusi yang ditawarkannya ialah menaikan pendapatan ASN dengan demikian tidak ada lagi korupsi.
Sebagai Pemimpin Indonesia, yang memiliki keragaman suku, ras, bahasa, budaya serta komposisi agama dan kepercayaan, Gus Dur menjadi tokoh pluralis paling fenomenal. Pluralitas tersebut, di satu sisi memberikan warna bagi Indonesia sebagai negara yang kaya, di sisi lain memang kemajemukan tersebut turut memberikan catatan merah dalam ranah kehidupan bersama. Kehadiran sosok Gus Dur menjadikan pluralitas itu berkat bagi Negeri Indonesia, tidak mengherankan jika ia didaulat sebagai tokoh diplomat urusan keragamaan keagamaan.
Salah satu pencapaian yang selalu dikenang dalam urusan agama tentang Gus Dur adalah kemampuannya untuk mengayomi keberagamaan dan menghilangkan stigma minoritas-mayoritas. Gus Dur menyadari keragaman Indonesia dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote dengan luas, 7,81 juta KM2, dengan rincian wilayah daratan 1,919 juta KM2 dan wilayah perairan 6,32 juta KM2. Indonesia terdiri dari 17.504 pulau, sekitar 11.000 pulau dihuni oleh penduduk lokal dengan 359 suku dan 726 bahasa. Mengacu pada PNPS no.1 tahun 1969, Indonesia memiliki lima agama besar. Di bawah pimpinannya, status Konghucu menjadi agama dikembalikan.[1]
Pencapaian-pencapaian besar Gus Dur dan pendekatannya yang humanis dialogis mengantar saya untuk merenungkan dan menyematkan Gus Dur sebagai tokoh yang melampaui segalanya. Ia bukan hanya seorang Kiai, bukan hanya seorang Presiden, bukan hanya seorang pencetus kedamaian, bukan hanya sekadar julukan-julukan lainnya, tetapi ia melampaui semua julukan tersebut. Ia menjadi tokoh yang selalu dikenang dalam semua lini kehidupan berbangsa dan beragama. Kecakapannya itulah yang menjadikannya berbeda dan ia melampaui segalanya.
Terima kasih.
*Tulisan ini adalah esay awal saya untuk bisa ikut kelas Penggerak Gusdurian Yogyakarta pada Bulan Oktober-Desember 2023. Salah satu syarat untuk bisa diterima dalam kelas penggerak tersebut adalah menarasikan pemahaman calon peserta tentang tokoh Gusdur. Ini adalah refleksi pra-perjumpaan dan dinamika kelas.