Dilihat dari urutan ritualnya, vera terdiri atas tiga bagian yang saling terkait. Ketiga bagian itu meliputi pembukaan (ti'i ka), acara inti (vera) dan penutup (tetendere). Hal yang dilakukan pada tahap persiapan ini adalah acara pemotongan ayam (tunu manu, pau manu) dan persembahan untuk memberi makan leluhur (ti'i ka embu nusi).
Secara etimologis ti'i ka terbentuk dari kata verba ti'i yang berarti beri dan kata nomina ka yang biasa diartikan makanan. Jenis hewan yang biasanya digunakan adalah ayam jantan merah (manu lalu). Tujuan dari acara ini adalah untuk memberitahukan embu nusi bahwa acara vera akan dilaksanakan dan memohon agar tidak diberi halangan selama diadakan tarian vera. Bersamaan dengan acara ti'i ka embu nusi juga ada kegiatan membunyikan gong dan gendang (dende lamba nggo). Ada dua sebutan khas untuk membunyikan gong dan gendang. Yang pertama disebut dengan ndera dan satunya mbata. Perbedaan dari keduanya adalah, ndera dibunyikan dengan cara memukul gendang menggunakan dua stick, sedangkan mbata dipukul dengan tangan dan diiringi dengan nyanyian. Bunyi yang dihasilkan dari pukulan gong dan gendang biasanya sangat harmonis dan memiliki irama dan ritme yang enak didengar.
Tujuannya ialah untuk mengundang kerabat dan tetangga yang ada di sekitar sa'o untuk datang bersama-sama mengikuti tarian vera. Ini adalah rangkaian tahap pembuka dalam acara vera. Sesudah acara pembuka yang dilaksanakan dalam sa'o. Selanjutnya dilanjutkan dengan tarian vera bersama di halaman rumah. Tarian ini biasa diawali dengan menyanyikan nggo lau tolo. Syair yang biasa dinyanyikan adalah sebagai berikut:
Nggo lau tolo e e, lau tolo wonga (gong sudah diletakan kembali di loteng)
Sese ana manu, ana manu kero (anak ayam berwarna kuning)
Syair lagu ini dinyayikan berulang oleh kaum pria dan wanita bersahut-sahutan menuju arena tarian (loka). Makna dari nyanyian ialah, gong dan gendang sudah diletakan kembali di loteng. Acara mbata telah usai dan saatnya masuk pada tarian vera. Sedangkan pada bait kedua berupa pujian dan sanjungan pada penari wanita. Ini adalah bahasa simbolis untuk menggambarakan penari wanita yang berkulit putih kekuning-kuningan (sese). Setelah menyanyi bersama nggo lau tolo dilanjutkan dengan tora loka. Secara esensial tora loka adalah undagan untuk embu nusi datang membersihkan arena dari gangguan manusia jahat dan roh jahat agar rangkaian acara vera bisa berjalan lancar. Tora loka ditandai dengan nyanyian syair oleh noa lako dan langsung disambut oleh woghu.
Tora loka bertujuan untuk mengundang kehadiran roh leluhur dan juga mengingatkan para peserta vera untuk saling berdampingan satu sama lain. Tora loka juga diwarnai dengan nggae yang berarti pemaparan asal-usul dan sejarah suku. Biasanya nggae setiap suku berbeda walaupun pola dan irama dalam tarian vera pada umumnya sama. Pada tahap inti adalah tarian vera itu sendiri. Vera dilaksanakan malam hingga dini hari sebelum matahari terbit. Dalam gambaran suasana waktu demikian, sebenarnya ada tanda bahwa roh leluhur senantiasa hadir pada saat diadakan tarian vera. Pada saat vera laki-laki dan perempuan yang dipimpin oleh seorang laki-laki (noa lako) bernyanyi bersahut-sahutan sambil diiringi gerakan yang seirama. Syair-syair yang dinyayikan juga memiliki makna yang sangat mendalam dan berisi pesan dan nasihat-nasihat yang variatif dan kaya. Dalam penelitian Ni Wayan Sumitri, tarian vera memiliki fungsi pranata religius, fungsi refleksi pengetahuan, sarana pemersatu, sarana control sosial dan politik, fungsi sarana pendidikan, fungsi media hiburan, fungsi pengesahan kebudayaan.
Pada akhir dari rangkaian vera adalah tarian penutup yang disebut dengan tangi jo. Tangi jo biasanya menjadi upacara untuk menutup rangkaian vera. Tangi jo memiliki pesan sukacita bahwa acara vera telah selesai dan mereka akan masuk kembali ke dalam rumah adat. Syair tangi jo adalah sebagai berikut: jo na tangi jo e jona (pasanglah tangga kami mau masuk rumah). Ini adalah rangkaian terakhir dari ritual vera dalam budaya rongga. Urutan upacara atau ritual vera ini menjadi bagian yang sudah mengakar dalam tradisi rongga. Secara terstruktur urutan tarian vera dapat saya urutkan sebagai berikut: tetendere, ndera, mbata, nggo lau tolo, nggae, vera, tangi jo dan ditutup lagi dengan tetendere.
Ke depannya?
Sebagai orang asli Rongga, saya menilai budaya rongga, khususnya tarian vera yang menjadi kekayaan budaya khas rongga haruslah terus dialirkan dalam darah setiap generasi muda. Vera telah memberikan harmoni dalam hubungan tatanan makro dan mikro kosmos. Sebagaimana dalam konsep stoa, harmonisasi adalah tanda adanya keselarasan ritme setiap makhluk sebagai kesatuan dengan kosmos. Vera, memberikan gambaran keselarasan dan harmonisasi demikian, ada kesatuan antara manusia dengan leluhur (embu nusi) dengan sesama, dan juga dengan alam semesta. Lebih dalam lagi keharmonisan dengan Yang Ilahi.
Keselarasan ini yang memberikan kekaguman dan kegentaran bagi orang Rongga juga menjadi penutun dalam kehidupan manusia. Sejak berkembangnya pengaruh teknologi, memang vera seperti 'dianaktirikan'. Para penggiat kebudayaan sudah mulai sepuh dan generasi penerus khususnya generasi muda sedang asyik dengan pengaruh barat. Dikotomi budaya lokal dan budaya barat menjadi kecanggungan tersendiri bagi generasi muda untuk mempromosikan budaya rongga di mata nasional dan internasional.