Sebenarnya sudah hampir tiga minggu telah menyelesaikan baca Rumah Kaca. Tergakum-kagum, geleng-geleng kepala, luar biasa ingin segera menuliskannya. Tapi apa daya, justru kekaguman itu yang membuatku beku. Saya tidak ingin laporan membaca ini hanya berputar pada puja-puji yang takberkesudahan. Tapi, itulah adanya. Sulit untuk tidak memuji Pramoedya Ananta Toer dengan tetraloginya.
***
Rumah Kaca (1988) adalah buku terakhir dari tetralogi Buru. Pada bagian ini diambil sudut pandang yang sama sekali tidak terduga dari tiga cerita sebelumnya. Jika kita masih ingat kisah menegangkan di akhir cerita Jejak Langkah; setelah terjadi peristiwa penembakan Robert Suurhof gembong preman De Zweep yang kerap mengganggu aktivitas politik Minke yang ternyata dilakukan atas rencana istrinya sendiri--Prinses van Kasurita dari Maluku yang digambarkan sebagai perempuan yang sangat pemberani--tanpa sepengetahuan Minke itu taklain hanyalah sebuah rencana di balik rencana seorang petinggi polisi Belanda dari Ambon, Pangemanann dengan dua n, untuk menjebak Minke.
Rumah Kaca ini dikisahkan ditulis sendiri oleh Pangemanann sebagai sebuah proyek (studi) pribadi tentang perkembangan pemberontakan pribumi. Memang Pangemanann-lah (seorang pribumi, di dalam cerita) yang ditugasi pemerintah konolonial untuk mulai melacak akar-akar pemikiran pemberontakan pribumi yang dalam pengamatannya bermuara pada aktivitas Minke--dengan segala kegiatannya; penerbitan koran, partai, majalah, lembaga bantuan hukum, dsb. Maka, dibuatlah rencana jahat untuk membungkam semua kegiatannya dengan menjebak Minke ke dalam sebuah konspirasi busuk. Minke harus berbuat salah. Lalu dia harus dihukum.
Tapi, ternyata sangat tidak mudah, Minke sebagai seorang cendekia pribumi, sadar benar untuk mempelajari hukum Belanda. Maka, rencana busuk Pangemann ditujukan kepada istrinya. Pangemanann dengan sangat telaten mempelajari sifat dan informasi tentang Prinses van Kasurita, dengan kesimpulan; Prinses akan cukup berani untuk membunuh seseorang demi keselamatan suaminya. Rencana itu mulai dihembuskan lewat desas-desus bahwa Robert Suurhof akan segera menghabisi Minke.
Dan, terjadilah apa yang direncanakan Prinses untuk menembak gembong preman itu di tengah keramaian pasar, agar mudah menghilangkan jejak di tengah keributan yang akan terjadi, juga rencana ini dibantu teman-teman baik Minke, tanpa sepengetahuan Minke. Padahal itulah rencana besar Pangemanann untuk menjebak Minke, sebab semua barang bukti akan menjurus pada satu-satunya senjata api yang resmi dimiliki Minke. Penembakan pun terjadi, sedikit di luar perhitungan, peristiwa itu terjadi ketika Pangemanann (yang menyamar sebagai seorang penulis cerita Si Pitung) justru sedang bersantap dengan Minke. (Ini bisa mengurangi tuduhan langsung bahwa Minke-lah yang menembak Suurhof, sebab Pangemanann-lah saksi yang menyertainya ketika peristiwa itu terjadi).
Namun, tak aral tanggung, rencana tuduhan pembunuhan pun langsung dialamat kepada Minke. Ia dijemput oleh satu kompi (ini sangat berlebihan) polisi Belanda yang memang sudah dipersiapkan sebelumnya. Kali ini yang menjemput Minke adalah Pangemanann sendiri (sebagai seorang petinggi polisi Belanda). Cerita berakhir dan mengambang (dalam Jejak Langkah) tentang mau dibawa ke mana Minke yang ditangkap tanpa kesempatan membela diri. Ternyata Minke (dalam Rumah Kaca), atas titah Gubernur Jendral Hindia-Belanda, diangsingkan ke pulau terpencil di Maluku Utara dan semua kegiatannya dibekukan oleh pemerintah kolonial--termasuk semua aset dan hasil jerih payahnya (tabungan uang) tanpa sepengetahuannya.
Gubernur Jendral Hindia-Belanda pun berganti. Minke telah menjalani 5 tahun hukuman pembuangan. Siksaan yang takterkira bagi seorang aktivis yang giat, mendekam dengan gerak yang dibatasi pemerintah kolonial. Tanpa korespondensi, tanpa komunikasi. Setelah 5 tahun di pengasingan, akhirnya Minke dikirim pulang. Namun, pulang hanya menyisakan kekecewaan yang semakin menyakitkan dari apa yang telah ditinggalkannya. Minke menelan kekecewaan menjadi sakit-sakitan di tengah kesengsaraan. Dan, jatuh meninggal karena sakit yang taktertolong (dokter di bawah ancaman tangan-tangan kolonial untuk tidak mengobati pasiennya).
***
Dan, hanya satu kalimat dari seorang sopir taksi yang menyebutkan Minke dengan nama lengkapnya: "Kurang terang Tuan T.A.S." (hlm. 545). Ketika Tirto Adhi Soerjo menanyakan sebuah desa di tengah sawah kampung halamannya. Rumah Kaca adalah arsip Pangemanann yang bercerita dengan sendirinya mengungkap sesiapa tokoh-tokoh yang disebut-sebut dalam tiga cerita sebelumnya (Marko adalah benar Mas Marco Kartodikromo yang kemudian menulis cerita Student Hidjo, Tjipto adalah Tjipto Mangun Kusumo, Mas Tjokro adalah Tjokro Aminoto, Kommers adalah H.F.R. Kommers yang kemudian menulis cerita antikolonial Nji Paina, Jean Marais adalah Jean Le Boucq veteran perang yang menjadi pelukis "Bunga Akhir Jaman" yang taklain adalah Annelies Mellema, Maysaroh alias May Le Boucq penyanyi Prancis kenamaan pada masanya, Rintje de Roo alias Fientje de Feniks pelacur kenamaan pada masanya yang dibunuh pelanggan Eropanya, Tuan Brinkman, 1912, ...)
Di Rumah Kaca pula cerita 5 tahun yang berselang atas pembuangan T.A.S. dibeberkan... [Terlalu banyak hal yang luput dari tulisan kecil ini. Hanyalah upaya untuk memperlambat lupa]. Selamat membaca!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H