Dengan cara itu, ia memiliki sejarah menghidupkan kembali Toko Buku Waterstones di Inggris pada tahun 2011. Dia menggunakan metode yang sama ketika menjabat sebagai CEO di Barnes & Noble.Â
Dia membuat setiap toko offline tidak menerima keuntungan dari iklan untuk buku yang diletakkan di rak utama. Sebaliknya, setiap toko buku telah beralih dengan cara memperkenalkan buku dan meletakkannya di rak sambil beroperasi secara mandiri.Â
"Tidak seperti pendahulu saya, yang menghabiskan banyak waktu untuk menganalisis data pelanggan, saya tidak menghabiskan satu detik pun untuk menganalisis data pelanggan," katanya kepada New York Times.Â
Ada pepatah di dunia penerbitan. "Bagaimana sebuah buku bisa menjadi bestseller? Buku yang berada di rak bestseller, itu yang menjadi buku bestseller."Â
James Daunt menyerah strategi dengan memakai modal yang dapat menerima dari penerbit, tetapi memakai cara yang mengamankan pembaca dengan memilih dan menjual sendiri buku-buku bagus.
James Daunt menganggap toko buku bukan hanya tempat 'membeli buku'. Menurutnya toko buku harus dapat memberikan keuntungan istimewa, sesuatu tidak dapat dialami secara online.Â
Dulu, Barnes & Noble merupakan toko buku yang menjual berbagai macam barang seperti kopi Starbucks dan mainan anak-anak.Â
Namun, selama masa pandemi Covid-19, James Daunt berfokus untuk merombak toko offline agar memiliki ruang baca yang lebih nyaman.Â
Dia ingin menjadikannya ruang di mana siapa pun dapat datang dan menghabiskan waktu dengan bebas membaca dan memilih buku. Karena itu beberapa rak buku dilepas dan digantikan sofa atau meja yang nyaman dan diubah menjadi ruang untuk duduk dan membaca buku.
Begitu juga dengan Toko Buku Kyobo, toko buku terbesar dan tertua di Korea selatan. Shin Yong-ho, pendiri perusahaan Buku Kyobo, berpendapat bahwa harus ada toko buku yang mewakili Korea di pusat kota Seoul.