Telaga ini sunyi sekali. Tapi sungguh aku tak pernah menyadari ini sebelumnya. Mungkin karena aku selalu kesini bersamamu. Bagiku, hadirmu sendiri sudah cukup untuk mengusir sepi.
Tapi tidak kali ini. Wajah sendumu, tatapan hampamu…
Entahlah, semua terasa membunuh, mengiris perlahan hingga ke sendi dan tulang-tulangku. Kualihkan pandangan ke daun teratai di tengah telaga. Tidak, kali ini aku tak sanggup menatapmu. Aku bahkan tak berani menikmati keindahan wajahmu.
“Kenapa?” Kucoba membunuh sepi dengan bertanya padamu. Sebuah tanya singkat yang kemudian kusesali terucap dari bibirku. Tanya yang tak pernah mungkin ada jawabnya. Perlahan kau menoleh, menatapku, pedih.
“Oh Tuhan, tolong jangan tatap aku seperti itu,” lirihku, hampir tak bersuara.
Kau raih tubuh mungilku ke pangkuanmu. Hangat kurasakan pelukanmu. Aku tak ingin ini berakhir.
“Tidak, tak kan kubiarkan mereka merebutmu dariku,” tekadku.
“Bukan mereka, tapi kita,” suara lembutmu tak mampu meredam kagetku. Dan sebelum sempat kubertanya, kau mendapatkan serangan itu. Mukamu tiba-tiba berubah pucat dan tenagamu hilang seketika. Tak sanggup berkata-kata, kau hanya menumpang di bahuku. Perlahan kuturunkan tubuhmu, dan kubiarkan kau berbaring di pelukanku.
Tatapanmu, tak mungkin kulupa hari itu. Tatapan lelah teramat sangat, seolah berkata “let me go.”
Dengan air mata bercucuran, aku mengangguk. Perlahan aku beranjak, meninggalkanmu sendirian, kedinginan di pinggir telaga sunyi ini.
============
Lima tahun berlalu setelah malam menyedihkan itu. Malam dimana aku kehilanganmu untuk selamanya. Malam yang tak pernah sekalipun kulupa setiap detil kejadian di dalamnya.
Dan telaga sunyi ini kembali menjadi saksi bisu kesendirianku, kesedihanku, dan kenanganku akan dirimu. Terkadang terpikir olehku, apa yang sebenarnya terjadi malam itu. Apa yang sebenarnya terjadi padamu. Tanya yang tak pernah kutemukan jawabnya. Kembali semua itu berkelebat di benakku.
“It’s time,” sebuah suara lembut menyadarkanku dari lamunan tentangmu. Untuk terakhir kalinya kutatap telaga sunyi ini. Telaga yang begitu indah saat kukunjungi bersamamu.
Tanpa menoleh, kuraih tangan lelaki muda yang dengan setia menungguku. Kami berjalan bersisian menuju mobil, tanpa kata. Seperti biasa, si lelaki muda tak banyak bicara. Dia hanya menuntunku, membukakan pintu mobil, kemudian menyetir dalam diam. Akupun lelah, lelah dengan pertanyaan2ku tentangmu, lelah dengan harapan semuku akan dirimu.
“Jika saja aku bisa membawanya kembali, akankah kamu bahagia?” Pertanyaan yang sama sekali tak kuduga. Tersentak, kutatap si lelaki muda dalam-dalam. Dia kembali diam, menatap lurus ke jalanan yang sepi.
“Mungkin salah dengar,” batinku. Kurebahkan kembali punggungku ke sandaran kursi mobil. Sebelum aku memejamkan mata, si lelaki muda kembali bersuara.
“Aku mencintaimu. Dan aku tau hanya dia yang kau cintai, hanya dia yang bisa membuatmu bahagia,” dia memberi jeda pada kalimatnya.
Kemudian, “Akankah kamu bahagia andai kubawa dia kembali ke sisimu?”
Kali ini tanpa menoleh, setengah hati kutanggapi kata-katanya,
” How?”
“I found a way,” Suaranya mantap.
“I guess I will,” jawabku juga mantap. Ya aku masih yakin padamu, pada kita.
Dia tersenyum,” I’ll be gone for at least a week. Can you not looking for me? I’ll be back with him.”
Janji yang kuyakin tak akan sanggup dia penuhi. Tapi aku hanya mengangguk. Aku lelah, lelah bercumbu dengan harapan palsu.
##############
Tiga malam berlalu. Aku masih setia kembali ke telaga sunyi. Mengenangmu. Alam bawah sadarku masih berharap kau muncul tiba-tiba dan mengajakku pulang. Tapi tiga hari ini aku sendirian. Tak lagi ditemani si lelaki muda. Tiba-tiba aku merindukannya. Apakah dia telah mengusirmu dari hatiku? Tidak, tidak. Dia masih sama, si lelaki muda yang naif.
Malam ketujuh, si lelaki muda masih belum kembali. Dan aku masih sendiri, setia kembali ke telaga sunyi ini. Mengenangmu, berharap kau kembali. Dan kadang juga berharap bisikan lembutnya mengatakan “it’s time,” atau “it’s late. Time to go back.” Kemudian aku terperangkap dalam kebingunganku sendiri, mana yang lebih kurindukan, kamu atau dia.
Malam ini aku tidak langsung pulang. Kubelokkan mobil ke apartemennya. Oh tentu, aku punya akses. Yang sebelumnya tak pernah kupakai. Apartemennya sederhana. Sangat khas apartemen seorang pria muda sukses yang down to earth; bersih, elegant, but not luxurius.
Setengah tergoda, kulirik kamarnya. Kubuka perlahan pintu dengan model cina pertengahan itu. Sebuah layar monitor 56′ menyambutku. Apa yang ditayangkan di monitor itulah yang mengejutkanku. Layar itu terbagi dua. Di kaki layar, aku melihat kelebatan gambar-gambar si lelaki muda sedang bercengkrama mesra dengan seorang wanita cantik, di pinggir telaga sunyi.
Sedangkan di layar utama, si lelaki muda berdiri membisu menatap telaga. Wanita yang sama, dengan setia menemaninya, menatap ke tengah telaga yang dipenuhi daun teratai. Telaga sunyiku. Tapi bukan, itu bukan telaga sunyi yang sekarang. Telaga yang sama, aku yakin. Errr, lima tahun lalu? Dan si lelaki muda juga banyak berubah, tapi aku tetap bisa mengenalinya. Lalu siapa perempuan itu, perempuan cantik yang bercengrama mesra dengannya itu?
Aku tak tahan lagi. Rasa cemburu membakar hatiku. Kutekan tombol power di sisi monitor, kemudian berlalu meninggalkan kamar. Hatiku terluka lagi. Setelah kepergianmu, aku tak tau jika hati ini masih sanggup menerima luka yang sama.
“Tidak, tak kan kubiarkan mereka merebutmu dariku,” suara penuh tekad itu terasa familiar di telingaku. Aku menoleh ke belakang. Ternyata monitor yang tadi kukira kumatikan, tidak langsung mati. Perlahan kecerlangannya berkurang. Dan aku hanya bisa ternganga menyaksikan adegan sisanya. Aku menyaksikan diriku menghancurkanmu, menghancurkan kita ~
Saramindi, Jakarta 06 April 2015
~ this is a repost from https://thetwoseasons.wordpress.com/2015/04/06/di-pinghir-telaga-sunyi/#more-223 ~
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H