[caption caption="It's all about Conquering Yourself"][/caption]Mendaki gunung sudah menjadi kegiatan yang populer di kalangan anak muda sekarang. Berbagai komunitas pendaki gunung pun bermunculan. Beragam latar belakang, rentang usia, hingga status sosial mulai membentuk kelompok masing-masing dalam kegiatan mendaki gunung. Beberapa dari komunitas ini yang saat ini mulai dikenal diantaranya Tektok Team, Komunitas Pendaki Kantoran (KPK), Pendaki Gunung Indonesia (PGI) dan masih banyak lagi.
Media turut berperan penting dalam mempopulerkan kegiatan mendaki gunung ini. Salah satunya dengan dibuatnya beberapa film tentang pendakian gunung. Sebut saja 5 cm (2012) yang menjual view spektakuler Ranukumbolo dan lautan awan puncak Mahameru. Lalu ada Romeo Rinjani (2015) yang memaparkan keindahan Danau Segara Anak dan puncak Anjani dengan pemandangan yang luar biasa. Siapa saja yang menonton film-film ini tentu menjadi berkeinginan untuk bisa menikmati keindahan itu langsung di tempatnya.
Kegiatan mendaki gunung merupakan olahraga ekstrim yang taruhannya adalah nyawa. Tak sedikit kita mendengar berita pendaki hilang, cedera, bahkan meninggal ketika melakukan pendakian. Tak sedikit juga diantara mereka yang merupakan pendaki yang sudah mengantongi sederet pengalaman naik gunung dan sudah puluhan kali melewati jalur-jalur ekstrim.
Semua berita diatas tidak mengurangi animo para pendaki untuk terus mendaki gunung. Bagi mereka semacam panggilan jiwa untuk senantiasa kembali ke puncak sana, ataupun puncak baru yang belum pernah dijejak. Kerinduan akan mendaki akan menyeruak diantara kesibukan rutinitas mereka, memaksa untuk kembali ke alam, kembali ke jalur pendakian yang terjal dan berbahaya.
Seperti dikisahkan dalam film Everest (2015), beberapa pendaki senior bahkan kebingungan ketika ditanya alasan mengapa mendaki gunung. Mereka menjawab sekadarnya, because it’s there (karena gunung itu disana). Mendaki gunung merupakan kegiatan berlandaskan hobi, dan tidak diperlukan alasan khusus untuk menekuni sebuah hobi tertentu, termasuk mendaki gunung tentunya.
Sulham, pendiri sekaligus ketua Tektok Team mempunyai jawaban sendiri untuk pertanyaan ini, “Melakukan kegiatan ekstrim membuatmu semakin dekat dengan Tuhan”. Kalimat sederhana itu menjadi alasan baginya dan teman-temannya dalam kegiatan-kegiatan ekstrim mereka, terutama mendaki gunung. Sebagai pendaki tektok, Sulham dan timnya dituntut untuk pintar dalam menerapkan manajemen pendakian. Pendakian tektok tidak mengenal acara kemping, tidak membawa logistik berlebih, dan hanya beristirahat sekedarnya. Disini mereka senantiasa menguji diri sendiri, menaklukkan diri (ego) sendiri untuk tiba di level yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Kegiatan mendaki adalah momen untuk semakin mengenal dirimu sendiri. Menguji sejauh mana kemampuan, kekuatan, ketahanan fisik dan mental. Karena mendaki bukan hanya mengenai bagaimana untuk sampai di puncak, bagaimana untuk bisa mendapatkan foto bagus, tapi yang lebih utama adalah bagaimana untuk sampai kembali ke rumah masing-masing dengan selamat. Bagaimana menjaga kekompakan tim, saling berbagi, dan saling menjaga di sepanjang perjalanan.
Banyak tantangan dan rintangan yang tidak ringan akan ditemui pada setiap pendakian. Perbedaan kecepatan antara satu pendaki dengan pendaki lainnya dalam tim merupakan salah satunya. Dalam hal ini yang cepat harus mengalah dan bersabar, sementara yang lambat harus berusaha menambah kecepatan serta bertahan untuk tidak mengeluh. Percayalah, ketika diatas sana semua orang pasti merasa lelah. Jadi ketika mengharapkan bantuan orang lain, pastikan dulu bantuan itu benar-benar dibutuhkan. Karena teman seperjalanan tidak untuk dijadikan tameng saat kita kelelahan, tapi menjadi penyemangat untuk menembus batas diri.
Tersesat, merupakan salah satu ketakutan besar para pendaki. Namun hampir semua pendaki senior pernah mengalaminya. Walaupun mendaki gunung yang sama dan melalui jalur yang sama, bukanlah jaminan pendaki tidak akan tersesat. Ada banyak faktor yang tidak semuanya bisa dilogika dapat menjadi penyebab tersesatnya para pendaki di gunung. Kehati-hatian sangatlah dibutuhkan. Penguasaan terhadap diri sendiri, keahlian untuk bertahan hidup di hutan, keahlian memanfaatkan petunjuk-petunjuk alam, dan tentunya yang paling utama adalah saling dukung sesama anggota tim. Saat menemui masalah seperti ini, emosi sangat mudah menguasai diri, tekanan rasa takut dan panik, sehingga kemudian mencari seseorang untuk disalahkan. Hanya perlu dipahami bahwa semua itu hal yang normal, dan kemudian diikuti dengan pengendalian diri, tetap berpikir jernih melawan segala jenis emosi yang mendera.
Disinilah setiap pribadi akan semakin mengenali dirinya sendiri, akan semakin menguasai dirinya. Karena tanpa penguasaan diri, tidak akan ada solusi yang bisa dihasilkan di tengah hutan belantara, saat satu-satunya orang yang bisa diajak bicara adalah dirimu sendiri.
Seorang pendaki adalah seorang pemimpi. Tentu, karena mimpilah yang kemudian menggerakkan langkah demi langkah menuju puncak dikala tubuh sudah lelah. Namun seorang pendaki juga adalah seorang realis, mengedepankan logika dan perhitungan. Ada kalanya mimpi harus ditunda karena alam pegunungan sedang tidak bersahabat dengan manusia, atau cedera dan sakit yang tak terduga. Kembalilah, untuk hidupmu yang jauh lebih berharga, bahkan saat kau sendiri tak menghargainya. Simpan mimpimu untuk lain waktu, karena gunung itu akan tetap disana. Dia akan menunggu jika kau ingin menjenguknya lagi.