Diakui atau tidak kesuksesan suatu tim sepak bola dunia dan tanah air, tak luput dari peran suporter. Selain memotivasi tim kesayangannya menderita kekalahan, mereka turut andil meningkatkan perekonomian rakyat bawah dengan beramai-ramai mendatangi stadion setempat baik kandang maupun tandang.
Suporter biasa-biasa saja, tentu memiki emosional berbeda melihat penampilan tim yang dibelanya. Datang membeli tiket, lalu menyaksikan jalannya laga dengan apa adanya, apapun hasilnya tidak terlalu dihiraukannya, nonton ya nonton saja. Toh sudah membeli tiket, meramaikan stadion lantas laga bubar ya, pulang.
Kelebihan suporter biasa-biasa saja itu tidak memusingkan hasil laga tim yang dibelanya. Apa pun yang terjadi tidak berpengaruh signifikan, bangga sih boleh-boleh saja, asal tidak berlebihan, andai kecewanya pun biasa-biasa saja. Lebih membanggakan menjadi supoter timnas Garuda, sebab tanah air kita adalah Indonesia, bukan di Belanda.
Lain cerita dengan fanatisme suporter, segala cara ditempuhnya untuk menyaksikan tim kesayangannya. Senang, jingkrak-jingkrak hingga melakukan hal-hal aneh usai melihat team tersebut memenangkan laga. Sebaliknya mereka akan mengutuk team yang dibelanya bahkan pemain, tidak terima menyaksikan klub tersebut kalah, apa untungnya! Bicara itu mudah, belum tentu kita bisa bermain sepak bola.
Parahnya, terkadang intimidasi ditujukan kepada pemain lawan yang membobol gawang dari team yang dibelanya. Contoh, pemain Sriwijaya FC, Airlangga Sucipto berhasil membobol gawang Persib Bandung sehingga menyebabkan Persib kalah, lantas Airlangga diharamkan menginjakkan kaki ke tanah Pasundan, ini kan tidak benar namanya.
Contoh berikutnya, pemain PSM Titus Bonai (asal Papua) mencetak gol tunggal ke gawang lawan, PSM menang atas Persipura. Apakah Tibo dilarang pulang kampung? Tentu tidak demikian. Pertanyaannya? bagaimana perlakuan fanatismesupporter Indonesia terhadap pemain asing yang membobol gawang team lawan atau yang dibelanya? Haruskah pemain asing tersebut dideportasi dari Indonesia, itu tindakan konyol, sama saja bunuh diri.
Betul, sepakbola tanpa supporter/hooligans ibarat "sayur kurang garam," berasa hambar, dan itu memang terbukti ampuh memompa adrenalin pemain dalam kondisi tertekan. Menariknya, tanpa kehadiran penonton sepakbola tetap bisa berjalan, sebaliknya meski bangku stadion disesaki supporter, tanpa kehadiran pemain, dipastikan sepakbola di tiadakan.
Setiap daerah dengan pasokan dana besar pasti memiliki team kuat dengan supporter fanatik. Sebut saja kota Papua, Makassar, Sidoarjo, Solo, Surabaya, Malang, Gresik, Kalimantan, Bandung, Lamongan, Madura, Jakarta, Semarang, Sleman dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Mereka muncul "sukarela" ditengah-tengah team, kemudian membentuk komunitas menjelma menjadi "pemain" ke dua belas.
Dibawah panji-panji kebesaran jersey klub yang dibelanya, mereka memamai dirinya suporter dengan nama-nama unik nan menakutkan dengan tujuan membuat lawan gentar, semisal di Papua fansnya terkenal disebut Persipura Mania, Persebaya ada Bonex, Arema FC punya Aremania/Aremanita, Balistik milik Persiba Balikpapan, The Machmen PSM Makassar punya, Borneo dinamai Pusam Mania, Bobotoh/Viking di Persib Bandung, The Jack identik dengan Persija Jakarta, Sriwijaya FC dengan Singa Mania Palembang, Semen Padang dikenal The Kmers, Persela punya L.A Mania dan lain-lain. Terlepas dari popularitas nama-nama angker tersebut. Perilaku supporter tajk jarang suka rusuh, anarkis. Tidak terima kekalahan tim, Â yang terjadi bukannya melerai tak jarang supporter lain memprovokasi "bagai memancing di air keruh."
Tidak heran jika perbuatan supporter seperti ini sangat merugikan team. Mayoritas team menanggung sanksi denda dari induk sepakbola indonesia PSSI. Memang pahit menerima kekalahan, paling menyakitkan sudah kalah kena denda pula.
Negara kita adalah negara hukum, biarlah hukum berbicara. Anarkism, vandalisme hanya berlaku di negara komunis. Stigma negatif supporter sepakbola Indonesia terkenal rusuh dan perusak dan jarang sekali mendapat ucapan salut, tapi mereka bangga, tidak membutuhkan penghargaan karena yang dibutuhkan adalah kebanggaan dan kebersamaan.
Suporter sepak bola Indonesia, tidak melulu berprilaku buruk kok, mereka juga memilki kebaikan, antara lain;
- Kompak atau solid di dalam stadion.
- Tidak eman-eman atau "sayang" mengeluarkan uang, berapa pun harga tiketnya, akan selalu dibelinya demi menyaksikan team kesayangannya bertanding.
- Tidak pernah berhenti berteriak, melompat-lompat memberi dukungan di dalam stadion.
- Bangga akan team kesayangannya, sangat antusias dan bersemangat jika diajak ngobrol masalah team yang dibelanya.
- Atraksi unik menghibur penonton.
Kekurangan dari suporter sepak bola Indonesia;
- Anarkis dan atraktif dalam setiap kondisi, dalam artian begitu ada hal-hal yang tidak disukainya langsung dijadikan bahan kekerasan, hal ini terjadi saat team "kesayangannya" menelan kekalahan.
- Tabiat anak kecil, seorang dewasa sekalipun akan terpancing emosinya jika team kebanggaannya diumpat dan dimaki-maki supporter lain, padahal ia tahu sendiri rekan-rekan sesama supporternya juga sering melakukan umpatan kepada supporter lain.
- Mudah terprovokasi dan terpancing emosi di luar dan di dalam lapangan.
- Bagai dua sisi mata uang yang "RUMIT" seperti hubungan Aremania dan Bonex, Jakmania dan Viking Bobotoh, antar mereka susah sekali akur, semua mengganggap paling baik dan superior, padahal intinya sama saja tidak ada yang benar-benar baik, sama-sama mudah terprovokasi, hal ini sebernarnya bisa dipecahkan dan tidak menjadi rumit jika saling damai, dimulai dari masing-masing kelompok supporter dengan tidak saling menghujat.
- Menyalakan petasan dalam stadion dengan tujuan mengganggu jalannya pertandingan.
- Konvoi kendaraan di jalanan sambil berteriak-teriak sambil mengumpat di jalan raya.
- Arogan, menebar ujaran kebencian terhadap orang atau seseorang asal dari daerah team yang mengalahkan team yang dibelanya. Misalnya Persib Bandung mengalahkan Arema FC. Lantas orang-orang Bandung yang merantau di Malang dibenci bahkan dimusuhi. Â Jika ini terjadi maka perbuatan ini tergolong pengecut! dan seterusnya.
Fanatisme penonton Indonesia memang terkenal berisik dan bising. Banyak pemain terintimidasi. Meski begitu, hal tersebut juga menjadi boomerang bagi tuan rumah, karena tidak sedikit team sulit mengembangkan permainan karena tuntutan supporter. Karena apa? Karena mengumpat itu mudah dari pada melakoninya.
Memang sih ini belum menggambarkan secara keseluruhan dari wajah dan kondisi suporter sepakbola Indonesia secara keseluruhan, karena sebernarnya suporter sepakbola indonesia itu sangat majemuk sekali. Ini hanya sedikit mewakili secara garis besar saja.
Jati diri bangsa ini terletak pada perbuatan bangsanya sendiri, emosi meledak-ledak akan membuahkan petaka, berburuk sangka terhadap seseorang/supporter, komunitas yang bukan berasal dari daerahnya. Sungguh kerdil pemikiran kolot ini, sangat tidak mencerminkan dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung.
Kasus kerusuhan antar supporter ini sangat tidak terpuji, sepatutnya menjadi pelajaran bagi "penyembah" anarkisme, bahwa provokator itu pengecut. Rusuh di stadion, itu tergolong menodai sportivitas sepakbola Indonesia.
Posisi supporter masih dibutuhkan, tanpa memandang Suku, Antar Ras dan Agama (SARA). Setidaknya perbedaan itu indah, jangan dipecah belah. Â Bagaimana pendapat kalian?
24 September 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H