Sudah menjadi kewajiban dimana pun rumah sakit berdiri megah nan mewah lebih mengutamakan kesehatan pasien, bukan DP atau uang muka. Nah, kalau yang masuk rumah sakit tersebut pasiennya berasal dari kalangan tidak mampu, masak harus bayar uang muka dulu baru mendapat pelayanan medis, ya keburu mampus!.
Jangankan kalangan tidak mampu, yang mendapat jaminan kesehatan ASKES atau sekarang BPJS saja pada mengeluh akan buruknya pelayanan medis, dilempar ngalor ngidul. Lain ceritanya pasien dari kalangan pejabat berduit, langsung mendapat layanan kelas wahid, ruang berAC, home teather bahkan kulkas tersedia disana, wajar dong? bisa bayar kok, berapapun nominalnya.
Masih ingat kasus 'KOIN UNTUK PRITA', harus berurusan dengan sebuah rumah sakit Internasional-OMNI Alam Sutera. Pihak Rumah Sakit menuntut satu milyar dan menjebloskannya ke jeruji besi. Hal ini, karena ibu dua anak ini mencurahkan isi hatinya di surat elektronik akan ketidak puasannya, layanan para medis yang bekerja di rumah sakit tersebut, pada (7/8/2008). Apa yang diterima Prita, bukannya meningkatkan layanan justru menuntut pasiennya dan menggiringnya ke penjara wanita Tangerang, Banten.
Peristiwa mengenaskan itu kembali terjadi, bedanya korbannya kali ini anak bayi tanpa dosa bernama Debora Simanjorang. Sangat disayangkan nyawa Debora tidak tertolong, lantaran pihak Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres tidak melakukan tindakan medis dengan memasukkan ruang Pedatric Intensive Care Unit (PICU) apabila tidak ada uang muka. Sementara uang milik orang tua Debora tidak mencukupi batas minimal uang muka.
Kejadian ini tentu saja mencoreng dunia medis, bukannya mengutamakan kesehatan pasien tetapi lebih berorientasi komersialisasi. Disini terlihat perlakuan pasien BPJS dan umum jauh panggang dari pada api, turut prihatin atas meninggalnya Debora.
Wajar apabila banyak orang kaya sakit memilih berobat ke luar negeri, disitu perbedaannya. Kasus Debora jangan melihat siapa jujur dan siapa bohong, intinya utamakan keselamatan nyawa pasien diatas layanan Administrasi, apalagi pasien dalam kondisi gawat darurat harus ditangani segera, bukannya dibiarkan pontang-panting sampai meregang nyawa, jadi untuk apa ada jaminan kesehatan jika perlakuan rumah sakit tidak menjamin kesehatan pasiennya. Selebihnya Alloh SWT pemegang kehendak.
Dilansir kompas.com, "ini perilaku praktisi kesehatan ahrus diselesaikan, jangan sampai orientasi ke arah keuntung semata. Kalau semua diarahkan pada keuntungan semata, benarlah kata-kata orang miskin dilarang sakit," Ujar Riyo di Mapolda Metro Jaya, Kamis (14/9/2017).
"kalau dalam posisi seperti ini tak dipidana berbahaya, RS ini akan terjadi lagi. Apalagi presentase orang miskin lebih banyak dibandingkan yang mampu," ucap dia.
Riyo menambahkan, "perilaku rumah sakit seperti itu tak bisa dibiarkan. Untuk itu pihaknya membuat laporan polisi, kasusnya terus dikawal, agar kejadian yang menimpa Debora tak terulang lagi."
Kenapa tidak dari dulu Gubernur DKI memerintahkan Dinas Kesehatan Provinsi melakukan kerjasama dengan Rumah Sakit se-DKI tidak menarik uang muka terhadap pasien gawat darurat sebelum jatuh korban. Harapannya tidak hanya berlaku di Jakarta saja, mudah-mudahan peristiwa mengharukan ini menjadi pelajaran kita semua, terutama keberadaan rumah sakit se-nusantara membuat pelayanan lebih baik. Rejeki tidak akan kemana-mana, kesampingkan uang muka khususnya pasien gawat darurat.
Barangkali harus ada korban terlebih dulu, baru ada tindakan konkrit dari Pemerintah. Akankah ada Debora-Debora baru? Tunggu tanggal mainnya!
16 September 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H