Mohon tunggu...
Adi Pujakesuma
Adi Pujakesuma Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

KEBENARAN HANYA MAMPU DILIHAT MELALUI MATA KEMATIAN

Selanjutnya

Tutup

Politik

Budaya Malu Hilang

12 Juni 2017   09:14 Diperbarui: 12 Juni 2017   09:49 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nasehat mencengangkan ini saya peroleh dari group jejaring sosial media milik teman seprofesi. Dalam penayangan ini tidak ada tendensius pribadi, hanya mengungkapkan apa yang seharusnya diungkapkan oleh Penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abdullah Hehamahua.

Beliau mengungkapkan satu keresahan terkait kondisi yang sebenarnya bahwa angka korupsi Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang ada di KPK meresahkan. “Jujur, meresahkan angka korupsi yang ada di KPK, jika mengikuti semuanya 60 persen dari 4,2 juta PNS harus kami tangkap. Masalahnya penjara jadi tidak cukup, biaya besar untuk penindakan, mereka (yang korupsi) akan korupsi lagi setelah keluar (penjara),” ujar dia.

Menurut Hehamahua, apa yang dilakukan para PNS tersebut mungkin bukan karena awalnya memiliki niat untuk korupsi. Namun, karena sistem yang buruk dilakukan berulang-ulang menjadi peluang, maka korupsi terlaksana.

Sementara itu, dalam puisi lainnya Taufiq Ismail juga mengungkapkan keresahannya akan hilangnya budaya malu sehingga membuat orang tidak malu melakukan perbuatan tercela yang sebelumnya dianggap tabu dalam masyarakat, termasuk melakukan korupsi yang berarti mencuri.

Kali ini ia membacakan puisi berjudul “Mencari Sekolah Yang Mengajarkan Rasa Malu”, di mana inti dari puisi tersebut menceritakan bagaimana seorang ibu kesulitan mencarikan sekolah bagi anaknya yang mengajarkan rasa malu.

Sekolah A menyatakan tidak mengajarkan rasa malu, pada saat menyontek guru-guru kami pura-pura tidak tahu. Sedangkan pada sekolah B juga tidak mengajarkan rasa malu, karena ketika UAN (ujian akhir nasional) ada guru ditugaskan diam-diam memberikan jawaban kepada murid.

Dan sekolah C yang juga tidak mengajarkan rasa malu, kepala sekolah tidak dapat memenuhi permintaan ibu untuk mengajarkan rasa malu karena sudah terlampau lama tidak mengajarkan rasa malu karena murid sekolah tersebut harus seratus persen lulus.

Itu harus ditempuh dengan segala cara. Sedangkan dalam penggalan puisi berjudul “Kini Kita Teringat Pada Pancasila Yang Dilupakan”, Taufiq Ismail berupaya menggambarkan betapa Pancasila kini telah dilupakan.

Begitu hebatnya setiap sila dari Pancasila membentuk karakter bangsa, namun kini terlupakan, terabaikan, dilecehkan, tidak dipedulikan, bahkan tidak ingin dilihat.

“Ketika kita teringat Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Habis-habisan kita mengabaikannya.”

“Kita hidup sesudah bendungan besar roboh satu dasawarsa silam. Suaranya gemuruh menderu-deru ke seluruh penjuru.”

“Membawa perubahan politik kenegaraan berbagai aspeknya. Tetapi bersama jebolnya bendungan itu, ikut terbawa pula. Berhanyutan nilai-nilai luhur luar biasa tinggi harganya, nilai keimanan, kejujuran, rasa malu, kerja keras, tenggang rasa, pengorbanan, tanggung jawab, ketertiban, pengendalian diri.”

“Remuk berkeping-keping karakter mulia bangsa. Kita mencopet, mencuri, merampok, memeras, dan menjarah.”

Taufiq Ismail dalam puisinya tersebut juga menggambarkan bagaimana batasan halal dan haram semakin kabur di negeri ini.

“Ketika 17 dari 33 Gubernur jadi tersangka, 52 persen banyaknya. Ketika 147 dari 473 Bupati dan Walikota jadi tersangka, 36 persen jumlahnya. Ketika 27 dari 50 anggota DPR ditahan, 62 persen jumlahnya. Saksikan begitu banyak orang menyembah uang dengan khusyuknya.”

Itu lah yang dirasakan sejumlah kalangan atas kondisi bangsa yang semakin “dibodohi” oleh korupsi. Semoga bermanfaat.

12 Juni 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun